Tantangan Membuat Gedung Green Skyscraper yang Hemat Energi dan Tahan Bencana

Artha Soeratin . January 24, 2019
Tantangan Membuat Gedung Green Skyscraper yang Tahan Bencana

Taipei 101
Teknologi.id - Taipei 101 kini masih mempertahankan gelar gedung tertinggi di dunia dalam konsep green skyscraper atau gedung hijau berkonsep hemat energi. Meski Burj Khalifa kini sudah dinobatkan sebagai skyscraper tertinggi di dunia, namun Taipei 101 masih dinobatkan sebagai green skyscraper tertinggi di dunia. Membuat gedung pencakar langit dengan konsep hemat energi dan efisiensi sumber daya menjadi tantangan untuk para desainer. Arsitek, teknisi, bahkan hingga ilmuwan turut berpartisipasi dalam pembuatan gedung berkonsep green skyscraper ini. Sebenarnya apa saja tantangan yang harus dihadapi oleh mereka ketika akan membuat gedung berkonsep hemat energi ini?

Green Skyscraper Wajib Didesain Untuk Tahan Bencana Alam

Tantangan Membuat Gedung Green Skyscraper yang Tahan Bencana

Badai Jepang
Dalam membuat gedung pencakar langit, mereka kini wajib didesain untuk bertahan dari segala bencana alam. Angin topan, puting beliung, gempa bumi, bahkan ancaman tsunami sekalipun. Burj Al-Arab adalah gedung pencakar langit pertama yang paling berisiko terkena bencana alam, terutama tsunami. Arsitek, teknisi, dan ilmuwan bekerja sama untuk menciptakan teknologi di mana gedung bisa bertahan dari bencana alam. Tentunya dalam pra-rekonstruksi, mereka mengetes metode apa yang paling cocok untuk menghadapi bencana alam ini.

Baca juga: 3 Tantangan Membangun Smart City di Indonesia

Pembangunan secara fisik itu sendiri hanya bisa dilaksanakan setelah uji coba material sukses. Karena yang akan dibuat adalah gedung pencakar langit, arsitek dan ilmuwan harus mencari cara bagaimana gedung tersebut bisa meminimalisir gangguan alam.

Self-Sustain Menjadi Salah Satu Ketentuan Wajib


Stark Tower
Kalau kita pernah melihat film The Avengers, kita pasti pernah melihat bagaimana Tony Stark memasang Reaktor di bawah laut. Hal itu supaya ketika sumber listrik dari luar dimatikan, gedung ini masih bisa menyuplai untuk dirinya sendiri. Gedung berkonsep green skyscraper wajib mengurangi penggunaan listrik dari luar dan menghemat air. Oleh karena itu, teknologi penyulingan air serta penyimpanan listrik dalam jumlah besar menjadi salah satu standar dasar. Apalagi dalam penggunaan air harus dihemat karena sumber air di bumi ini semakin menipis. Belum adanya teknologi penyulingan air laut yang efisien membuat teknisi dan ilmuwan harus berpikir keras bagaimana mereka bisa membuat air tetap ada jika ada krisis nanti.

Baca juga: Lyfe, Platform Gaya Hidup Sehat Pertama di Indonesia

Tantangan ke depan

Meski pengembang kini berlomba-lomba membuat gedung berkonsep green skyscraper, tentunya tetap ada tantangan ke depan. Ke depan nanti, mungkin saja kita akan melihat gedung harus bisa beradaptasi dengan perubahan. Kalau kita melihat peninggalan seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan, kita melihat bagaimana teknologi masa lalu bisa membuat Candi itu tetap berdiri. Tidak peduli diterjang badai, gempa, maupun letusan gunung, candi peninggalan di Indonesia masih tetap berdiri. Hal itupun sama dengan gedung berkonsep green skyscraper ini. Mereka juga harus berpikir bagaimana gedung tersebut bisa bertahan lebih dari satu abad ke depannya nanti. (AMS)
Share :