Foto: Pexels
Teknologi.id - Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai bahwa kasus kebocoran data yang baru-baru ini marak terjadi di Indonesia adalah salah satu yang terburuk di Asia, bahkan yang terburuk di dunia.
Salah satunya adalah bocornya 1,3 miliar data registrasi kartu SIM masyarakat Indonesia yang diunggah pada 31 Agustus 2022 oleh salah satu anggota situs forum peretas bernama Bjorka.
Selain itu, dalam sebulan terakhir telah terjadi dugaan kebocoran data terkait 26 juta pelanggan IndiHome, 17 juta pelanggan PLN, 105 juta data pemilih KPU, serta surat BIN kepada Presiden Joko Widodo.
“Ini bukan hanya darurat, tetapi menurut saya yang terburuk di Asia, bahkan bisa jadi di dunia,” kata Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto dalam acara “Polemik Trijaya bertajuk Darurat Perlindungan Data Pribadi”, Sabtu (10/9/2022).
Damar mengatakan kasus serupa juga terjadi di Malaysia pada 2017. Saat itu, diduga 46 juta data dari 12 operator seluler negara tetangga itu dijual di pasar gelap. Kasus ini pernah dianggap sebagai kebocoran data terbesar di Asia.
Baca juga: Hacker Bjorka Pernah Bikin Search Engine Sendiri Berisi Data Breach! Ini Tampilannya
“Data SIM card yang dijual di Malaysia 46 juta, itu saja sudah dikatakan sebagai yang terbesar di Asia, apalagi kita yang sampai 1,3 miliar jumlahnya,” imbuhnya.
SAFEnet dan lima lembaga lainnya yang tergabung dalam Koalisi Peduli Data Pribadi baru saja membuka Posko Aduan Kebocoran Data Pribadi. Posko itu dibuat karena kemarahan publik yang besar akibat meningkatnya jumlah kasus kebocoran data.
Masyarakat dapat mengajukan pengaduan melalui http://s.id/kebocorandata. Setelah itu, Koalisi Peduli Data Pribadi akan memperjuangkan aspirasi yang diajukan. “Kita melihat ada kemarahan publik yang sangat besar, ini karena ada lempar tanggung jawab antara kementerian dan lembaga serta swasta dalam hal registrasi SIM card,” tutur Damar.
Menurut dia, semua pihak harus bertanggung jawab, mulai dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), operator telekomunikasi, dan Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, selaku pemegang pengelola data pelanggan telekomunikasi dan data pribadi masyarakat Indonesia.
“Tetapi, saya melihat ada lempar tanggung jawab dari mereka. Jadi, saya kira kemarahan publik ini wajar karena memang tidak ada yang betul-betul serius menanganinya,” pungkas Damar.
Sementara itu, ahli digital forensik Ruby Alamsyah menilai, maraknya kasus kebocoran data pribadi, baik itu di instansi pemerintahan maupun swasta, akhir-akhir ini, lantaran isu keamanan siber tidak menjadi perhatian utama di Tanah Air.
Baca juga : Indosat HiFi Resmi Meluncur! Berikut Daftar Harga dan Keuntungannya
Instansi pemerintah dan swasta hanya fokus pada produk atau layanan yang diberikan tanpa memperhitungkan potensi serangan siber akibat penggunaan teknologi informasi (TI).
“Bagi mereka yang penting deliver produk saja, soal keamanan TI belakangan. Kalau sudah ada kasus, baru melek. Tetapi kalau tidak ada, keamanan TI ini tidak diurusin,” tutur Ruby, dalam acara yang sama.
Ia melanjutkan, kebocoran data tersebut tidak terkait langsung dengan anggaran dan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh perusahaan atau instansi pemerintah manapun.
Oleh karena itu, ke depan, keamanan TI juga perlu diperhatikan. Masalah ketersediaan anggaran sangat relatif. Lebih penting lagi, pengelola data sangat sadar untuk melindungi data pribadi dari orang-orang yang mereka kelola.
(aka)