Sarjana TI di Indonesia Masih Sedikit yang Menjadi Programmer
Fahad Mulyana . May 16, 2019
Tenologi.id - Indonesia berambisi menjadi negara ekonomi digital terbesar se-Asia Tenggara pada tahun 2025. Akan tetapi, jumlah programmer yang ada saat ini disebut masih belum memenuhi kebutuhan. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan bahwa Indonesia masih kekurangan talenta digital dan butuh tambahan 600.000 talenta digital setiap tahunnya. Berdasarkan survei terbaru, sebanyak 56 persen responden dari 150.000 orang lulusan studi teknologi informasi (TI) di Indonesia, saat ini telah berkarier di perusahaan. Sementara 44 persen lainnya masih bekerja lepas, atau belum bekerja tetap di perusahaan. Data tersebut merupakan survei pada April 2019 yang dilakukan oleh Dicoding, sebuah startup penyedia platform belajar pemrogram komputer. Dicoding melakukan survei ini terhadap 150.000 orang lulusan TI yang berusia 21 sampai 22 tahun yang ada di 460 kota dan kabupaten Indonesia. Meskipun jumlah lulusan pendidikan vokasi maupun sarjana teknologi informatika (TI) di Indonesia cukup banyak, namun tidak sepenuhnya terserap ke industri digital dan menjadi programmer. Dilansir dari KompasTekno, Kamis (16/5/2010), CEO startup developer lokal, Dicoding, Narenda Wicaksono, mengatakan ada tiga masalah, yang pertama adalah kurikulum. Menurut Narenda, butuh waktu empat tahun bagi perguruan tinggi untuk memperbarui kurikulum, hal itu disebutnya terlalu lama, sementara teknologi berkembang sangat cepat. Sehingga dengan kondisi kurikulum yang kurang fleksibel tersebut agak sulit menyesuaikan perkembangan dunia digital yang tiap tahun selalu berkembang. Kedua, kualitas pengajar TI yang belum merata juga menjadi masalah berikutnya yang harus dibenahi. Menurut Naren, masih banyak para pengajar TI yang harus meningkatkan kompetensinya agar transfer ilmu ke mahasiswa lebih maksimal. Ketiga, kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi masalah berikutnya. Naren mengatakan kualitas input SDM di Indonesia juga masih belum merata. "Di Indonesia, belajar logika itu belum menjadi kewajiban, karena kebanyakan masih menggunakan sistem hafalan. Sehingga input fundamental rata-rata belum punya standar yang dibutuhkan untuk melewati kelas programming secara penuh," imbuhnya. Faktor biaya pun sering jadi kendala bagi talenta muda dalam mempelajari suatu teknologi. Oleh karena itu, Dicoding mengambil langkah untuk menyediakan beasiswa yang merupakan hasil kemitraan business-to-business (B2B). "Program beasiswa diharapkan turut berperan dalam pemerataan kesempatan belajar bagi developer sekaligus menumbuhkembangkan ekosistem digital yang kuat di Indonesia," tutur Narenda seperti dikutip dari kumparantech. Kamis (16/5/2019). Selain itu, Dicoding sendiri menawarkan pembelajaran koding secara online melalui situs dicoding.com. Ada 19 kelas berbeda yang dibagi menjadi kelas pemula hingga mahir. Beberapa kelas bisa diambil secara gratis namun ada pula yang berbayar. Materi yang disuguhkan di antaranya membuat aplikasi Android, membuat game, kotlin for Android, Blockchain, Java, Web, Chatbot, dan manajemen source code. (FM)