Foto: Unsplash
Teknologi.id – Di masa depan nanti, kue
vanila yang kita nikmati mungkin akan terbuat dari botol plastik. Saat ini, para
ilmuwan sudah menemukan cara untuk mengubah sampah plastik menjadi perasa
vanila dengan bakteri rekayasa genetika.
Senyawa yang membawa sebagian besar
bau dan rasa vanila, Vanilin, dapat diekstraksi dengan alami dari biji vanili
atau dibuat secara sintetis. Terdapat 85% vanillin saat ini yang terbuat dari
bahan kimia dan diambil dari bahan bakar fosil.
Melansir dari Live Science, vanilin
ditemukan di berbagai macam produk makanan, kosmetik, farmasi, pembersih dan
herbisida, dan permintaannya berkembang pesat
Berdasarkan penelitian yang diterbitkan 10 Juni di jurnal Green Chemistry, pada tahun 2018, permintaan global untuk vanilin adalah sekitar 40.800 ton, dan diperkirakan akan tumbuh menjadi 65.000 ton pada tahun 2025.
Baca juga: Plastik yang Dapat Hancur Sendiri: Solusi Masalah Lingkungan
Permintaan akan vanilin jauh melebihi
pasokan biji vanili. Ini membuat para ilmuwan terpaksa memproduksi vanilin
secara sintetis. Dalam studi terbarunya, para peneliti mencoba metode baru
untuk mengubah sampah plastik menjadi vanilin sebagai cara untuk memasok
vanilin sekaligus mengurangi polusi plastik.
Mengutio dari The Guardian, Para
peneliti mencampur bakteri rekayasa genetika mereka dengan asam tereftalat dan
menyimpannya pada suhu 37 derajat celcius selama sehari. Sekitar 79% asam
tereftalat kemudian diubah menjadi vanilin.
"Krisis limbah plastik global
sekarang diakui sebagai salah satu masalah lingkungan paling mendesak yang
dihadapi planet kita," ucap para penulis dalam penelitian tersebut.
Sekitar 1 juta botol plastik terjual
setiap menit di seluruh dunia. Dari jumlah itu, hanya 14% yang didaur ulang. Plastik
yang didaur ulang hanya bisa diubah menjadi serat untuk pakaian atau karpet.
"Pekerjaan kami menantang persepsi plastik sebagai limbah bermasalah dan malah menunjukkan penggunaannya sebagai sumber karbon baru dari mana produk bernilai tinggi dapat dibuat," ucap salah satu penulis studi Stephen Wallace, dosen senior bioteknologi di The University of Edinburgh.
(MIM)