Teknologi.id - Sekelompok ilmuwan dari Hebei Medical University, China, telah menciptakan sebuah virus menggunakan bagian-bagian dari virus Ebola untuk menganalisis penyakit tersebut beserta gejalanya.
Namun, penelitian ini menimbulkan kekhawatiran, karena virus tersebut berpotensi mematikan dalam tiga hari. Virus hasil rekayasa ini ternyata menjadi varian yang dilaporkan membunuh hamster di laboratorium hanya dalam waktu tiga hari setelah terpapar.
Sebuah penelitian mengenai eksperimen ini telah diterbitkan di Science Direct. Dalam penelitian tersebut, para peneliti menyebutkan bahwa hamster yang terpapar tersebut mengalami penyakit sistemik parah, mirip dengan yang dialami oleh pasien Ebola pada manusia, termasuk kegagalan multi-organ.
Tim peneliti menggunakan penyakit menular yang biasanya menyerang hewan ternak dan menambahkan protein yang ditemukan pada virus Ebola. Protein ini memungkinkan virus untuk menginfeksi sel dan menyebar ke seluruh tubuh manusia.
Setelah disuntikkan, beberapa hamster mengalami keluarnya cairan di bola mata, yang mengganggu penglihatan dan menutupi permukaan mata.
Dikutip dari Science Direct, Kamis (31/10), tim peneliti menyatakan, "Ini adalah tanda bahwa hamster Suriah berusia 3 minggu yang terinfeksi virus tersebut memiliki potensi untuk berperan dalam penelitian gangguan saraf optik yang disebabkan oleh EVD."
Terkait pelaksanaan eksperimen pada hewan tersebut, tim peneliti mengonfirmasi telah mengantongi izin dari komite eksperimen hewan di Laboratory Animal Center, Changchun Veterinary Research Institute, Chinese Academy of Agricultural Science.
Mengingat kekhawatiran tentang kebocoran laboratorium di China yang diduga menjadi penyebab tersebarnya virus Covid-19 beberapa tahun lalu, tim peneliti mengatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk menemukan model hewan yang tepat untuk meniru gejala Ebola dengan aman di lingkungan laboratorium. Mereka ingin memahami dan memfasilitasi strategi pencegahan.
Mengutip NDTV, Kamis (31/10), virus seperti Ebola membutuhkan fasilitas yang sangat aman dengan tingkat Keamanan Hayati Level 4 (BSL-4). Sementara itu, sebagian besar laboratorium di dunia hanya memiliki tingkat keamanan BSL-2.
Oleh karena itu, tim peneliti menggunakan virus yang berbeda untuk mengangkut glikoprotein Ebola yang disebut sangat penting untuk virus dapat memasuki dan menginfeksi sel inang. Dalam hal ini, mereka menggunakan virus stomatitis vesikular (VSV).
Para peneliti menyatakan bahwa model pengganti yang mereka kembangkan tersebut adalah alat yang aman, efektif, dan ekonomis untuk melakukan evaluasi praklinis secara cepat terhadap langkah-langkah medis yang dapat digunakan melawan virus Ebola (EBOV) dalam kondisi Keamanan Hayati Level 2 (BSL-2).
Mereka percaya bahwa model tersebut akan mempercepat kemajuan teknologi dan terobosan dalam upaya menghadapi penyakit virus Ebola.
Baca juga: Ilmuwan Amerika Temukan Metode yang Bisa Hancurkan 99% Sel Kanker
Adapun subjek penelitian tersebut terdiri dari lima hamster betina dan lima hamster jantan.
Ketika tim peneliti mengambil organ dari hamster yang mati, para peneliti menemukan bahwa virus telah terakumulasi di jantung, hati, limpa, paru-paru, ginjal, lambung, usus, dan jaringan otak.
Tim peneliti menyimpulkan bahwa penelitian ini berhasil, dengan mencatat bahwa eksperimen tersebut memberikan evaluasi praklinis yang cepat terhadap langkah-langkah medis untuk melawan Ebola dalam kondisi BSL-2.
Melansir WHO, Kamis (31/10), penyakit virus Ebola yang sebelumnya dikenal sebagai demam berdarah Ebola, adalah penyakit serius yang sering kali fatal dan mempengaruhi manusia serta primata lainnya.
Virus ini ditularkan kepada manusia dari hewan liar, seperti kelelawar, landak, dan primata.
Virus ini menyebar melalui kontak langsung dengan darah, sekresi, organ, atau cairan tubuh lainnya dari orang yang terinfeksi, serta dengan permukaan dan material (misalnya tempat tidur, pakaian) yang terkontaminasi dengan cairan tersebut.
Rata-rata tingkat kematian kasus Ebola sekitar 50%. Tingkat kematian kasus ini bervariasi antara 25% hingga 90%.
Wabah Ebola pertama terjadi di desa-desa terpencil di Afrika Tengah. Wabah tersebut terjadi antara 2014 hingga 2016 di Afrika Barat. Menjadikannya sebagai wabah Ebola terbesar dan paling kompleks sejak virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 1976.
Wabah ini mencatatkan lebih banyak kasus dan kematian dibandingkan semua wabah lain sebelumnya digabungkan. Selain itu, wabah ini juga menyebar antarnegara, dimulai dari Guinea dan kemudian melintasi batas darat ke Sierra Leone dan Liberia.
Baca berita dan artikel yang lain di Google News.
(aia)