Xiaomi Terancam Masuk Daftar Hitam AS: Dituduh Bantu Militer China, Ini Nasibnya!

Wildan Nur Alif Kurniawan . December 23, 2025


Foto: GSM ARENA

Teknologi.id – Raksasa teknologi asal China, Xiaomi, kini berada di ujung tanduk. Setelah sempat menikmati pertumbuhan pesat di pasar global, termasuk Indonesia, perusahaan yang didirikan oleh Lei Jun ini kini harus menghadapi ancaman serius dari Washington. Pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump dilaporkan tengah mempertimbangkan untuk memasukkan Xiaomi ke dalam daftar hitam militer.

Melansir laporan CNBC Indonesia, Senin (22/12/2025), ancaman ini bermula dari surat yang dikirimkan oleh sembilan regulator dan anggota parlemen AS dari Partai Republik kepada Menteri Pertahanan (yang kini diistilahkan sebagai Menteri Perang), Pete Hegseth. Surat tersebut mendorong Pentagon untuk memasukkan Xiaomi dan beberapa perusahaan teknologi China lainnya ke dalam daftar Section 1260H.

Apa Itu Section 1260H dan Mengapa Xiaomi Menjadi Target?

Daftar Section 1260H adalah daftar resmi yang disusun oleh Departemen Pertahanan AS untuk mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang dinilai memiliki keterkaitan erat atau membantu kepentingan militer China. Masuknya sebuah perusahaan ke dalam daftar ini menandakan bahwa pemerintah AS menganggap perusahaan tersebut sebagai "perusahaan militer China yang beroperasi di Amerika Serikat."

Tuduhan utama yang dilayangkan kepada Xiaomi adalah dugaan keterlibatan mereka dalam mendukung modernisasi militer China. Meskipun Xiaomi selalu menegaskan bahwa mereka adalah perusahaan swasta yang memproduksi perangkat konsumen untuk warga sipil, para regulator AS tampaknya memiliki pandangan berbeda.

Selain Xiaomi, nama-nama besar lain yang juga diusulkan masuk ke dalam daftar hitam ini adalah DeepSeek (perusahaan AI yang sedang naik daun) dan BOE Technology Group (pemasok layar raksasa yang juga menyuplai komponen untuk iPhone milik Apple).

Baca juga: Xiaomi Siap Luncurkan Alat Pelacak, Xiaomi Tag

Dampak Masuk Daftar Hitam: Bukan Sekadar Larangan Dagang

Banyak orang bertanya-tanya, apakah nasib Xiaomi akan sama dengan Huawei yang langsung "lumpuh" setelah masuk Entity List? Perlu dipahami bahwa daftar Section 1260H memiliki mekanisme yang sedikit berbeda.

Masuk ke dalam daftar 1260H tidak serta-merta menjatuhkan sanksi pelarangan total perdagangan atau penggunaan layanan Google. Namun, daftar ini berfungsi sebagai "peringatan merah" bagi seluruh lembaga pemerintah AS dan para kontraktor militer. Artinya:

  1. Hambatan Investasi: Investor asal AS akan dilarang memiliki saham di perusahaan yang masuk daftar ini. Ini bisa memicu aksi jual besar-besaran dan merontokkan valuasi Xiaomi di bursa saham.
  2. Reputasi dan Rantai Pasok: Penyuplai komponen asal AS akan menjadi sangat berhati-hati. Meskipun belum dilarang total, bekerja sama dengan perusahaan di daftar 1260H dianggap berisiko tinggi secara hukum di masa depan.
  3. Pencoretan dari Rantai Pasok Pemerintah: Lembaga pemerintah AS akan dilarang menggunakan produk atau layanan dari perusahaan tersebut.

Bagi Xiaomi, yang memiliki ambisi besar di pasar kendaraan listrik (EV) dan perangkat rumah pintar, cap "militer" dari AS adalah hantaman keras bagi citra merek mereka sebagai perusahaan teknologi gaya hidup.


Foto: SSL Indonesia

Konteks Politik: Trump dan "Kementerian Perang"

Ancaman terhadap Xiaomi ini muncul di tengah kebijakan agresif Donald Trump yang baru saja menandatangani anggaran pengeluaran militer senilai US$1 triliun. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah perintah Trump untuk mengganti nama Kementerian Pertahanan menjadi Kementerian Perang.

Perubahan nomenklatur ini bukan sekadar simbolis, melainkan sinyal bahwa AS akan lebih konfrontatif terhadap kekuatan teknologi China. Para anggota parlemen yang menandatangani surat desakan tersebut, termasuk John Moolenaar dan Rick Scott, berargumen bahwa teknologi China seperti chip, layar, dan perangkat pintar dapat digunakan untuk spionase atau memperkuat kapabilitas tempur Beijing.

BOE Technology Group, misalnya, diminta oleh anggota parlemen untuk dicabut dari rantai pasokan Pentagon paling lambat tahun 2030. Jika Xiaomi masuk ke dalam pusaran ini, ruang gerak mereka di pasar Barat akan semakin menyempit.

Mengingat Kembali Konflik 2021

Ini bukan pertama kalinya Xiaomi berurusan dengan daftar hitam AS. Pada akhir masa jabatan pertama Trump di tahun 2021, Xiaomi sempat dimasukkan ke dalam daftar serupa. Namun, saat itu Xiaomi melakukan perlawanan hukum yang gigih.

Xiaomi mengajukan gugatan ke pengadilan federal AS dan berhasil menang. Hakim saat itu memutuskan bahwa bukti yang diajukan Pentagon untuk menyebut Xiaomi sebagai perusahaan militer sangatlah lemah. Akibatnya, Xiaomi dikeluarkan dari daftar hitam.

Namun, situasinya saat ini berbeda. Dengan pemerintahan yang lebih agresif dan sentimen anti-China yang semakin menguat di kedua kamar parlemen (Senat dan DPR AS), upaya hukum yang sama mungkin akan jauh lebih sulit dilakukan oleh Xiaomi kali ini.

Baca juga: Xiaomi Siapkan Mi Chat: Calon Lawan Baru ChatGPT yang Bikin Dunia AI Panik!

Nasib Pengguna Xiaomi di Indonesia

Bagi jutaan pengguna HP Xiaomi di Indonesia, kabar ini tentu menimbulkan kekhawatiran. Namun, hingga saat ini, ancaman tersebut baru bersifat administratif di level pemerintahan AS. Berbeda dengan kasus Huawei yang kehilangan akses ke sistem operasi Android (Google Mobile Services), status Section 1260H pada tahap awal biasanya lebih berdampak pada aspek investasi dan kontrak pemerintah.

Namun, jika tekanan AS terus meningkat hingga ke tahap pelarangan ekspor teknologi (seperti chip Qualcomm), barulah nasib ketersediaan komponen dan layanan perangkat lunak Xiaomi bisa terancam secara global.

Xiaomi kini berada di tengah "badai sempurna" geopolitik antara AS dan China. Status mereka sebagai produsen HP nomor tiga dunia tidak membuat mereka kebal dari serangan politik Washington. Jika usulan para regulator ini diterima oleh Pentagon, Xiaomi harus bersiap menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian ekonomi.

Dunia teknologi kini bukan lagi sekadar soal inovasi dan harga murah, melainkan soal keamanan nasional dan keberpihakan politik. Sisi gelap dari persaingan adidaya ini kembali memakan korban, dan kali ini giliran Xiaomi yang harus berjuang demi kelangsungan bisnis globalnya.

Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News.

(WN/ZA)

Share :