Teknologi.id - Setelah melakukan audit dan pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Investree Radika Jaya (Investree), Senin (21/10). Saat kasus ini mulai diumumkan OJK, pendiri sekaligus CEO Investree, Adrian Gunadi dilaporkan kini telah kabur ke Doha, Qatar.
Dalam beberapa tahun terakhir, industri pinjaman online (pinjol) di Indonesia berkembang pesat, tetapi tidak sedikit perusahaan pinjol yang tersandung permasalahan serius. Salah satunya Investree, yang mengumumkan kebangkrutan dan telah resmi ditutup oleh OJK. Ditambah lagi dengan berita mengenai kaburnya CEO Investree menambah gelapnya nasib perusahaan ini.
Dugaan Fraud dalam Perusahaan
Saat ini, publik dibuat semakin bertanya-tanya perihal akar permasalahan yang menyebabkan kehancuran layanan fintech peer-to-peer (P2P) lending ini.
Dikutip dari CNBC Indonesia, berdasarkan siaran pers dari OJK, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFLI), Entjik S. Djafar, menyebutkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Investree berkaitan dengan dugaan fraud dalam perusahaan. Menurutnya, Fraud di perusahan akan menyebabkan kinerja dan struktur ekuitas menjadi minus sehingga tidak memenuhi peraturan OJK yang sudah diatur di minimal angka Rp7,5 miliar (tahun ini) dan 12,5 miliar (tahun depan). Kasus tersebut membuat perusahaan menjadi rugi dan ekuitas pun menurun.
Pelanggaran ekuitas minimun pada perusahaan Investree ini juga diduga berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran lain. Entjik juga menyinggung pernyataan OJK bahwa adanya fraud yang berkaitan dengan pidana sehingga OJK akan melakukan penyelidikan terhadap eks-CEO Investree tersebut.
Sejak berdiri pada tahun 2016, Investree menjadi salah satu platform pinjaman peer-to-peer yang bertujuan untuk memudahkan akses pendanaan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Tercatat dalam laman resminya, penyaluran pinjaman dari perusahaan senilai Rp14,53 triliun sejak didirikan. Sebanyak Rp13,36 triliun pinjaman telah tercatat lunas, sehingga outstanding pinjaman berada di nilai Rp 402,13 miliar. Selain itu, tercatat pula sebanyak 16,44% termasuk ke dalam wanprestasi dengan jangka waktu 90 hari (TWP90) atau macet.
Alasan Pencabutan Izin Usaha oleh OJK
Terdapat beberapa alasan yang mendasari pencabutan izin usaha Investree oleh OJK. Pertama, pelanggaran oleh Investree mengenai ekuitas minimum dan ketentuan lainnya sesuai dengan POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI). Kedua, pelanggaran secara operasional oleh Investree dinilai sebagai kinerja buruk oleh OJK dan berdampak pada pelayanan masyarakat.
Setelah penemuan pelanggaran tersebut, pencabutan izin usaha Investree resmi dirilis oleh OJK dan telah tertulis dalam Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-53/D.06/2024 tanggal 21 Oktober 2024. Pencabutan izin usaha ini menjadi langkah terakhir dari OJK setelah sebuah perusahaan gagal memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. OJK juga menyatakan bahwa pencabutan izin usahan Investree merupakan bentuk pemberlakuan regulasi yang bertujuan untuk mewujudkan industri jasa keuangan yang stabil dan bersih, integritas dalam penyelenggaraan layanan finansial, tata kelola layanan yang baik, dan manajemen resiko yang memadai agar dapat memberi perlindungan kepada masyarakat.
Baca juga Apa Itu Aplikasi Pinjaman Uang Online? Mana Saja yang Terdaftar di OJK?
CEO Investree Dilaporkan Kabur
Pemberitaan terkait dengan bangkrut dan pencabutan izin usaha perusahaan Investree juga dibuat heboh setelah kaburnya Adrian selaku Founder dan eks-CEO. Informasi terbaru saat ini, Adrian sempat dihubungi oleh pihak CNBC Indonesia melalui pesan singkat. Ia mengaku bahwa kini sedang menunggu tambahan modal dari investor Qatar. Saat ini, Adrian hanya mampu berjanji untuk segera menyelesaikan masalah yang terjadi pada perusahaan miliknya.
Kebangkrutan Investree berdampak luas tidak hanya pada perusahaan itu sendiri, tetapi juga pada investor, peminjam, dan ekosistem pinjol secara keseluruhan. Ribuan peminjam yang mengandalkan layanan Investree untuk modal usaha mereka kini berada dalam posisi tidak menentu. Begitu pula dengan para investor yang berharap mendapatkan imbal hasil dari dana yang mereka tanamkan. Rasa ketidakpastian ini menciptakan krisis kepercayaan di pasar pinjol, yang sebelumnya telah dibangun dengan susah payah.
Kasus Investree menjadi pelajaran berharga bagi seluruh industri pinjol di Indonesia. Para pelaku industri perlu mengevaluasi kembali praktik bisnis mereka, memastikan kepatuhan terhadap regulasi, dan mengutamakan transparansi dalam operasional. OJK juga diharapkan dapat memberikan panduan yang lebih jelas dan mendukung perkembangan industri pinjol tanpa mengorbankan keamanan konsumen.
Di sisi lain, penting bagi para peminjam untuk melakukan riset sebelum menggunakan layanan pinjol. Mereka harus memahami risiko dan keuntungan yang terkait, serta memilih platform yang telah terbukti kredibel dan patuh pada regulasi.
Baca juga artikel lainnya di Google News