Foto: Fox Business
Teknologi.id – Mata uang kripto termasuk Bitcoin banyak digemari oleh
banyak orang di berbagai negara termasuk Indonesia.
Sayangnya harga Bitcoin
akhir-akhir ini sangat fluktuatif bahkan turun cukup jauh jika dibandingkan
awal-awal tahun ini.
Mata uang kripto yang sudah
dibuat sejak tahun 2009 ini, kini mendapati kekhawatiran yang meningkat akibat
undang-undang di Amerika Serikat yang diusulkan oleh Presiden Joe Biden.
Seperti dilansir Detik dari
News.com Australia, Selasa (10/8/2021), Bitcoin mengalami penurunan tertinggi
pada hari Minggu sebesar AUD 57.262 hingga di hari Rabu sebesar AUD 51.454
pekan lalu.
Kekhawatiran tumbuh dikarenakan dampak dari UU infrastruktur Presiden AS Joe Biden yang diusulkan bernilai USD 675 miliar.
Baca juga: ATM Bitcoin Akan Segera Hadir di Circle K
Jika UU tersebut berhasil
disahkan, maka yang terjadi adalah harga Bitcoin pun akan turun sebesar USD
6.000 atau sekitar Rp86 jutaan.
Penurunan terjadi semakin dalam
setelah Elon Musk mengisyaratkan kepada Tesla untuk membuang kepemilikan mata
uang kripto pada bulan Mei.
Ditambah lagi dengan kebijakan
Tiongkok yang melarang penggunaan kripto di bulan Juni lalu yang ikut
menjatuhkan harga.
Dengan kabar seperti ini,
ketentuan dalam UU infrastruktur yang dapat mengumpulkan USD 37,81 miliar dari
investor kripto, tentunya dapat menjatuhkan perusahaan.
"Ini adalah kebijakan yang sesat, dimana jika diadopsi, akan jauh lebih merugikan daripada menguntungkan kepentingan Amerika Serikat," tulis pengacara Jake Chervinsky dalam cuitannya di Twitter.
Baca juga: Jumlah Listrik yang Diperlukan untuk Menambang 1 Bitcoin
Jake Chervinsky menjelaskan, UU
itu akan merugikan para investor uang kripto dan yang bertransaksi memakainya.
"Ini terdengar gila dan
sangatlah tidak masuk di akal, tapi mungkin akan terjadi. Banyak sekali UU
tentang kripto yang mungkin dapat kita abaikan, namun tidak kali ini,"
tegas Chervinsky.
Namun dari sudut pandang
pemerintahan, Komite Perpajakan AS menilai bahwasanya jika bursa kripto diawasi
dan diberikan peraturan akan menghasilkan keuntungan sebanyak USD 69,87 miliar
yang berasal dari transaksi jual beli kripto.
Peraturan diberlakukan karena
transaksi jual beli kripto yang tidak terdeteksi dan tidak diawasi.
Padahal transaksi kripto yang
terjadi bernilai USD 2,7 triliun dan berasal dari 8.600 transaksi di seluruh
dunia.
(fpk)