Teknologi.id - Vendor smartphone asal Tiongkok, Xiaomi saat ini memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan beberapa tahun belakangan, Xiaomi menjelma menjadi "pembunuh" vendor top dunia seperti Apple dan Samsung.
Hal itu tercermin dari neraca bisnis Xiaomi yang terus tumbuh pada semester awal 2021 ini, baik dari segi pendapatan maupun pengiriman ponsel.
Pada kuartal I-2021, Xiaomi berhasil mengirimkan 49,4 juta unit ponsel ke pasar global. Dalam periode tersebut, bisnis smartphone Xiaomi mencetak pendapatan 51,5 miliar Yuan (sekitar Rp 113,7 triliun), naik 69,8 persen dari tahun-ke-tahun, dengan persentase laba kotor terhadap penjualan bersih (gross profit margin) sebesar 12,9 persen.
Meski begitu, perusahaan mengklaim bahwa persentase laba bersih terhadap penjualan (nett profit margin) Xiaomi dari bisnis hardware masih di bawah 5 persen, sesuai janji CEO Xiaomi, Lei Jun yang diucapkan pada 2018.
Hal itu diungkapkan oleh Head of PR Xiaomi Indonesia Stephanie Sicilia. Menurut Stephanie, berdasarkan laporan keuangan perusahaan tersebut untuk paruh pertama 2021, nett profit margin Xiaomi dari bisnis smartphone belum mencapai 1 persen.
"Terkait perbedaan antara laba kotor dan laba bersih dari bisnis perangkat keras, hal ini umumnya melibatkan pengeluaran untuk penjualan dan promosi, pengeluaran administrasi, pengeluaran untuk riset dan pengembangan (R&D), dan lainnya," ujar Stephanie dikutip dari KompasTekno, Rabu (3/11).
Baca juga: Siap Saingi Tesla, Mobil Listrik Xiaomi Bakal Mengaspal 2024
Iklan penyumbang keuntungan terbesar
Melihat persentase keuntungan yang begitu kecil dari penjualan ponsel, lantas dari mana Xiaomi mendapat untung besar?
Dijelaskan oleh Stephanie, bahwa pendapatan perusahaan turut ditopang oleh bisnis-bisnis lain di luar hardware, termasuk penayangan iklan lewat ponsel.
"Keuntungan dari Xiaomi Corporation berasal dari pendapatan bisnis perangkat keras dan layanan internet, yang meliputi iklan yang dihadirkan melalui smartphone," jelas Stephanie.
Seperti diketahui, Xiaomi memang menayangkan iklan serta layanan terintegrasi di sejumlah aplikasi add-on dan terkadang di dalam antarmuka MIUI (Android) yang menjadi sistem operasi ponsel buatannya.
Baca juga: Xiaomi Luncurkan Earbud Berteknologi Noise Cancelling
Dari bisnis penayangan iklan ini, terbilang Xiaomi mampu mendapatkan keuntungan fantastis. Misalnya di kuartal-I 2021, pendapatan Xiaomi dari bisnis iklannya mencatat rekor terbesar per kuartal, yakni 3,9 miliar Yuan (sekitar Rp 8,7 triliun). Pertumbuhannya mencapai 46,3 persen secara year-over-year.
Keuntungan dari bisnis iklan tersebut turut meningkatkan pendapatan bisnis layanan internet Xiaomi, yaitu mencapai 6,6 miliar Yuan (setara Rp 14,7 triliun) dengan gross profit margin 72,4 persen pada kuartal pertama tahun 2021.
Tak sampai di situ, berlanjut di kuartal-II 2021, bisnis iklan Xiaomi kembali memecahkan rekor pendapatan tertinggi, sebesar 4,5 miliar Yuan (sekitar Rp 10 triliun), atau meningkat 46,2 persen dari tahun ke tahun.
Begitu pun dengan pendapatan bisnis internet service Xiaomi, yang juga terdongkrak ke angka 15,1 miliar Yuan (setara Rp 33,6 triliun) dengan gross profit margin 74,1 persen pada kuartal kedua tahun 2021.
Baca juga: Google Foto Hadirkan Fitur Aman untuk Simpan Foto Vulgar
Perusahaan internet
Walaupun dikenal luas melalui produk-produk smartphone-nya, Xiaomi sebenarnya tidak memposisikan diri sebagai pabrikan ponsel, melainkan "perusahaan internet" alias internet company.
Sejak melantai pertama kali di tahun 2010 lalu, produk pertamanya juga bukanlah ponsel, melainkan software antarmuka MIUI yang hadir pada Agustus 2010, baru kemudian disusul ponsel pertamanya Xiaomi Mi 1 setahun setelahnya.
Dari bisnis iklan yang terkoneksi dengan MIUI inilah yang memungkinkan Xiaomi untuk menghemat biaya hardware (ponsel dan perangkat lainnya), sehingga bisa menekan harga produknya dan bersaing dengan brand-brand top dunia.
Untung tipis yang penting laris plus bisa bersaing dengan Samsung dan Apple, ya?
(dwk)