Foto: Pixabay/PIRO4D
Teknologi.id - Di tengah petualangan luar angkasa yang menakjubkan, para astronot juga menghadapi tantangan unik dalam menjalankan ibadah puasa dan salat sebagai seorang muslim. Dalam lingkungan yang sangat berbeda dari Bumi, para astronot harus menghadapi tantangan teknis, lingkungan, dan psikologis dalam melaksanakan ibadah di luar angkasa.
Faktanya, astronot asal Malaysia Sheikh Muszaphar Shukor mendapat misi dan tergabung dalam perjalanan luar angkasa, sebagai seorang muslim pada 2007. Sheikh terikat dengan peraturan agamanya, di mana harus melakukan puasa dan salat.
Sheikh Muszaphar Shukor pun menanyakan tata cara ibadah di luar angkasa kepada para ulama. Pertanyaan tersebut mengundang perhatian yang penuh, karena pada zaman Nabi Muhammad Saw tidak pernah terjadi perjalanan menggunakan roket untuk melintasi ruang angkasa dan bagaimana cara melaksakan ritual puasa ataupun salat di stasiun luar angkasa.
Dilansir Teknologi.id dari Republika, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lapan dan juga Anggota Tim Falakiyah Kementerian Agama Thomas Djamaluddin menyatakan bahwa beberapa astronot muslim selalu berkesempatan untuk melakukan perjalanan luar angkasa di International Space Station (ISS) atau Stasiun Antariksa Internasional.
Baca juga: NASA Bakal Kirimkan Astronot Perempuan Pertama Ke Bulan
Maka diperlukan ijtihad dari para ulama tentang cara ibadah di luar bumi, di mana akan berdampak sekali perubahannya dari segi teknis, lingkungan, dan psikologis. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi lebih dalam tentang perjalanan para astronot dalam melaksanakan puasa dan salat di luar angkasa dilihat dari tiga segi tersebut.
Tantangan Teknis: Perbedaan Waktu di Luar Angkasa
Foto: Pixabay/geralt
Salah satu tantangan utama bagi para astronot dalam menjalankan puasa di luar angkasa adalah perbedaan waktu. Di stasiun luar angkasa, waktu siang dan malam berlangsung sangat singkat, hanya sekitar 90 menit dalam sehari.
Hal ini membuat penentuan waktu sahur dan berbuka menjadi sangat rumit. Namun, NASA telah menyediakan solusi dengan mengikuti waktu Greenwich Mean Time (GMT) sebagai acuan waktu di stasiun luar angkasa.
Para astronot menggunakan sistem koordinasi waktu ini untuk mengatur jadwal puasa dengan mengikuti waktu di Bumi. Selain itu, perbedaan waktu juga berdampak pada penentuan arah kiblat untuk melaksanakan salat.
Baca juga: Penampakan Mirip UFO Tak Sengaja Terekam oleh Astronot Rusia
Kiblat, atau arah Mekkah yang harus dihadapkan oleh seorang muslim saat melaksanakan salat, berubah secara konstan karena perputaran Bumi. Para astronot harus menggunakan alat khusus yang dilengkapi dengan sensor GPS untuk menentukan arah kiblat yang akurat di luar angkasa.
Tantangan Lingkungan: Gravitasi Rendah dan Tidak Ada Orientasi Ruang
Foto: Pixabay/ipicgr
Lingkungan di luar angkasa sangat berbeda dari Bumi, terutama dalam hal gravitasi. Gravitasi di luar angkasa sangat rendah, bahkan hampir tidak ada sama sekali. Hal ini membuat astronot tidak bisa berdiri atau bersujud seperti biasa dalam salat.
Dan syukurnya, NASA telah menyediakan perlengkapan khusus untuk membantu para astronot dalam melaksanakan salat di luar angkasa. Perlengkapan tersebut berisi matras khusus yang dapat melekat pada dinding stasiun luar angkasa, sehingga astronot bisa berdiri atau bersujud di atasnya.
Selain itu, harus juga menggunakan alat bantu seperti tali dan pegangan untuk menjaga keseimbangan saat melakukan gerakan-gerakan salat. Dengan bantuan perlengkapan khusus ini, para astronot dapat melaksanakan salat dengan lebih mudah meski dalam kondisi lingkungan yang tidak mendukung.
Baca juga: Jamur Chernobyl Bisa 'Memakan' Radiasi, Harapan untuk Lindungi Astronaut di Antariksa?
Tantangan Psikologis: Jauh dari Keluarga dan Teman di Bumi
Foto: Pixabay/CDD20
Selain tantangan teknis dan lingkungan, para astronot juga menghadapi tantangan psikologis dalam melaksanakan puasa atau salat. Beberapa tantangan psikologis yang mungkin dihadapi oleh astronot dalam menjalani puasa atau salat di luar angkasa, antara lain:
- Isolasi Sosial: Astronot di luar angkasa mungkin menghadapi isolasi sosial karena terpisah dari keluarga, teman, dan masyarakat di Bumi. Menjalani puasa atau salat juga dapat menimbulkan perasaan keterasingan dari tim atau kelompok di antaranya, jika kebetulan adalah minoritas dalam hal praktik keagamaan. Isolasi sosial ini dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan emosional, termasuk dalam menjalani puasa atau salat.
- Stres Fisik dan Mental: Lingkungan di luar angkasa dapat menjadi stresor fisik dan mental yang signifikan bagi seorang astronot. Perubahan gravitasi, perubahan pola tidur, dan tekanan kerja yang tinggi dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Menjalani puasa atau salat di tengah stres fisik dan mental ini dapat menambah beban psikologis tambahan, seperti mengatur waktu untuk berpuasa atau menjalani salat, mempertahankan konsentrasi dan fokus, dan menghadapi perubahan emosi dan suasana hati.
- Tantangan Kepatuhan: Astronaut adalah pekerjaan yang diharuskan mengikuti protokol dan prosedur yang ketat agar menjaga keselamatan di luar angkasa. Menjalani puasa atau salat juga memerlukan kedisiplinan dan komitmen yang tinggi dalam menjalankannya, meskipun dihadapkan pada tantangan lingkungan dan rutinitas yang berubah di luar angkasa. Tantangan kepatuhan ini kurang lebihnya dapat menjadi sumber stres dan konflik batin bagi seorang astronot.
Baca juga: Rekomendasi Game Offline untuk Menunggu Waktu Berbuka Puasa
Telepas dari tiga tantangan tersebut yang akan dilalui oleh astronot muslim, 150 ilmuwan muslim dan ulama di bawah naungan badan antariksa nasional Malaysia ANGKASA dan Departemen Perkembangan Islamnya telah mengadakan konferensi sampai memakan waktu dua hari demi membahas 'Islam dan Kehidupan di Luar Angkasa'.
Dan dengan konferensi tersebut telah menghasilkan buklet pedoman yang diterbitkan untuk astronot muslim berjudul 'A Guideline of Performing Ibadah (worship) at the International Space Station (ISS)'.
(aa)