Foto: tempo
Teknologi id – Levana Sani, perempuan kelahiran 18 Mei 1992 ini membangun perusahaan rintisan yang bergerak di bidang kesehatan yang berfokus pada farmakogenomik di Singapura.
Motivasinya berawal dari kepergian sang kakek yang memiliki penyakit pada jantungnya. Ia dan keluarga telah membawanya ke berbagai dokter karena menurut mereka belum ada obat dari dokter-dokter tersebut yang manjur, tetapi setelah dia membawanya ke Rumah Sakit Mayo Clinic di Amerika Serikat, dokter disana berkata bahwa sang kakek terlalu banyak meminum obat.
“Kakek saya sampai minum 8-12 jenis obat”. “Efek samping obat membuat akhir hayatnya sangat sengsara” tambah Levana, yang dikutip dari Tempo, Kamis (14/02).
Baca juga: Derry Wijaya, Kembangkan Bahasa Pemrograman dengan Teknologi AI
Apa itu farmakogenomik?
Farmakogenomik sendiri merupakan cabang ilmu farmakologi, yaitu ilmu yang mempelajari efek obat pada makhluk hidup baik manusia dan hewan maupun tumbuhan dan jasad renik.
Farmakologi sendiri memiliki bercabang-cabang ilmu, tetapi untuk farmakogenomik mempelajari pemanfaatan ilmu dan teknologi genomik dalam penciptaan, penemuan dan pengembangan obat serta penggunaannya dalam diagnosis dan terapi penyakit.
Oleh karena ingatan tentang kakeknya yang masih terpatri di ingatannya, Levana berjuang menjadi salah satu peneliti di lembaga riset genetik terkemuka di Singapura. Ia banyak berkutat di laboratorium karena berpikir bagaimana setiap pasien dapat mendapatkan obat yang sesuai takaran tanpa efek samping tambahan.
Baca juga: Ilmuwan Jepang Temukan Cara Unik Deteksi Kanker Pakai Cacing
Penelitian genom manusia
Levana berjumpa dengan Alexander Lezhana, Jianjun Liu, dan Astrid Irwanto yang merupakan seniornya di Genome Institute of Singapore. Berawal dengan meneliti genom manusia yang berfokus pada farmakogenomik pada Dapson.
Dapson merupakan suatu obat pada penyakit kusta. Dari penelitian tersebut mereka menemukan biomarka HLA-B*13:01 yang memprediksi adanya Dapsone Hypersensitivity Syndrome yang bereaksi akibat obat yang seharusnya menyembuhkan.
Dari penelitian tersebut, tim mereka mendapat perhatian pemerintah Indonesia. Perlu diketahui, Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan penderita kusta terbanyak di dunia, setelah negara India dan Brazil.
Tim Levana dilibatkan untuk membantu menyebarkan 1.000 alat tes genetik di lima desa di Papua dan Papua Barat. Kedua wilayah tersebut merupakan salah dua daerah endemis kusta.
Dari penelitian itu mereka menemukan sebanyak 20 persen pasien kusta membawa genetik HLA-B*13:01. Tes ini nantinya akan membantu dokter memberi obat yang tepat bagi pasien. Menurut Levana, pasien kusta meninggal bukan karena penyakitnya, tetapi karena efek samping obat yang dikonsumsi.
Menurut Hana Krismawati, peneliti Balai Penelitian dan pengembangan Kesehatan, uji genetik bagi pasien kusta menjadi skrining pertama sebelum menjalani pengobatan. Obat bagi pengidap kusta yang disediakan gratis oleh WHO adalah Dapson, Rifampisin dan Lampren.
Tetapi dengan penemuan gen yang alergi terhadap Dapson, gejalanya tidak main-main. Pasien bisa mengalami demam, sesak nafas, hingga gangguan fungsi hati yang ditandai dengan mata menguning sampai kulit mengelupas. Bahkan bisa berakibat fatal, yaitu kematian.
Setelah penelitian tersebut, Levana dan tim membangun perusahaan rintisan Nalagenetics yang berfokus pada farmakogenomik pada 2016 di Singapura. Mereka melakukan penelitian bagaimana gen mempengaruhi obat yang akan dikonsumsi agar nantinya obat itu tidak memiliki efek samping yang dapat memperburuk kesehatan pasien.
Baca juga: Kelemahan Fitur Deteksi Batuk via Ponsel Menurut Pakar
Riwayat Pendidikan Levana Sani
Perkembangan Nalagenetics
Meskipun Levana sempat berhenti sementara untuk melanjutkan studi magister di Harvard Business School, perusahaan tersebut semakin berkembang pesat setelah dirinya memimpin sebagai Chief Executive Officer. Perusaahan pun turut meluaskan jangkauannya dari Singapura ke Indonesia dan Malaysia. Dan bahkan merencanakan untuk melebarkan sayap ke Inggris.
Perusahaan ini turut berkolaborasi dengan lebih dari 40 rumah sakit dan klinik di Indonesia dan Singapura, serta menggandeng 52 dokter Indonesia dan 22 dokter di Singapura. Nalagenetics turut bekerjasama dengan perusahaan asuransi.
Selain farmakogenomik, Nalagenetics turut berfokus pada pasien kanker payudara. Di Indonesia sendiri, kanker payudara memiliki kasus tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2020, angkanya mencapai 16.6 persen.
Nalagenetics dengan Samuel J. haryono bekerjasama untuk menguji gen agar obat yang diberikan sesuai. Karena menurut penelitian nya , dosis atau resep yang kurang tepat dapat menyebabkan 30 persen kekambuhan.
Selain kedua penyakit tersebut, Levana dan tim melakukan pendekatan farmakogenomik pada penyakit jantung, epilepsi sampai gangguan kejiwaan yang turut bekerjasama dengan rumah sakit lain.
Dengan farmakogenomik, Levana menyebutkan bahwa ada penghematan biaya pengobatan kesehatan. Sejak memimpin Nalagenetics, kegiatan meneliti di laboratorium berkurang dan sekarang berfokus untuk mencari investor dan mempromosikan Nalagenetics.
(na)
Tinggalkan Komentar