
Foto: Nusa Mandiri
Teknologi.id - Banyak orang yang
mungkin sering merasa kehidupan ini
tidak adil atau percaya bahwa beberapa pencapaian hanya dapat didapatkan oleh
mereka yang mempunyai privilege saja.
Semoga artikel ini dapat
memberikan pencerahan bahwa: Tidak ada
yang benar-benar tidak mungkin, kecuali kita sendiri yang menghukum mati masa
depan kita dengan tidak memberinya kesempatan untuk berkembang dan
menikmati proses dalam setiap tantangan kehidupan.
Namanya Giovanni Umboh, lahir dari keluarga sederhana, Ayahnya seorang
karyawan swasta dan Ibunya seorang Ibu Rumah Tangga.
Mereka hidup seperti mayoritas
keluarga sederhana pada umumnya, namun ketika krisis moneter 1998 terjadi
Ayahnya terkena PHK.
Sejak saat itulah kehidupan
keluarga mereka berubah, mereka harus membiasakan diri untuk hidup prihatin.
Dia pun harus berusaha lebih
keras untuk apapun yang dia inginkan sejak kecil dan membuat dia bersikap lebih
dewasa dari teman-teman seumurannya.
Di saat teman-teman dia sudah
memiliki fasilitas seperti handphone dan kendaraan untuk berangkat ke sekolah, dia
harus berjalan kaki melewati sawah untuk sampai ke sekolah.
Uang jajan pun hanya sekedar saja
dan tidak rutin dia dapatkan. Namun dengan semua keterbatasan tersebut, hal
positifnya adalah dia jadi lebih sering menghabiskan waktu di rumah untuk
belajar dan berfikir.
Iya, sejak kecil dia sering kali
melamun mempertanyakan kenapa kehidupan dia berbeda dari teman-teman seusianya.
Jangankan punya Nintendo atau
Playstation pada saat itu, TV saja mereka tidak punya. Dia harus pergi ke rumah
saudara atau tetangga dekat rumah untuk menumpang nonton TV.
Mereka hanya memiliki sebuah
radio di ruang tamu. Dia sering mendengarkan lagu-lagu di radio dan kaset milik
orang tua, mungkin dari sanalah ketertarikan dia dengan dunia musik muncul.
Dia ingin sekali bisa bermain
gitar pada saat itu, untuk itu dia meminjam
gitar dari anak teman Ibu dia sebelum akhirnya dia bisa membeli gitar
pertamanya sendiri kelas 3 SMA.
Singkat cerita dia bertemu dengan
teman-teman yang mempunyai minat yang
sama di dunia musik, dan beruntungnya mereka dapat menggunakan fasilitas studio
musik rumahan milik sepupunya untuk latihan gratis.
Sejak saat itu, sabtu minggu dia
pun penuh dengan jadwal latihan band di rumah sepupunya tersebut.
Untuk mencari uang jajan tambahan
dan mengasah mental tampil di depan umum, mereka memutuskan untuk ngamen di daerah Bekasi.
Responnya pun cukup bagus karena
group ngamen mereka sudah sering latihan di studio. Meskipun penampilan mereka
seperti pengamen pada umumnya, tapi tip yang diberikan oleh orang-orang yang
ada di sana cukup besar.
Sampai akhirnya mereka pindah
dari hanya satu tempat saja ke beberapa titik tempat di Bekasi. Dan ternyata
menjadi pengamen pun ada aturannya, banyak wilayah-wilayah yang sudah diklaim
oleh pengamen sekitar sehingga tidak jarang mereka diusir dari wilayah ngamen
mereka.
Namun seiring berjalan waktu dia
mulai mempertanyakan apakah bermusik itu merupakan passion atau sekedar hobi dia
saja?
Yang menjadi keraguan terbesar dia
adalah karena dunia musik dengan lingkungan orang-orang yang supel dan easy
going sangat bertolak belakang dengan kepribadian dia yang introvert dan
perfeksionis.
Dia merasa menjadi orang lain
ketika berada di lingkungan tersebut. Di waktu bersamaan dia ditawari untuk kuliah di kampus dan jurusan
yang dia minati oleh Tantenya.
Tentu saja tadinya dia berfikir musik
adalah hidup dan matinya, namun kesempatan untuk bisa kuliah di jurusan yang
sejak sekolah dia minati tidak bisa dia sia-siakan.
Proses pemilihan kampus pun dia
pertimbangkan agar tidak terlalu membebani Alm. Om dan Tante yang membiayai dia.
Dia memilih kampus yang paling murah biayanya di antara semua kampus
ternama yang ditawarkan kepada dia.
Di dalam proses perkuliahan, dia
sempat bekerja menjadi waiters di salah satu tempat karaoke di Jakarta (waktu
kerja nya di mulai dari sore selepas pulang kuliah, sampai subuh menjelang
masuk kuliah pagi).
Berjualan keripik dan berjualan
sendal di kampus untuk menambah uang jajan dan kebutuhan perkuliahan yang pada
saat itu tidak ingin dia bebankan semua ke Alm. Om dan Tantenya.
Alhamdulillah di tahun 2014, dia berhasil menyelesaikan pendidikan D3 dia tepat waktu walaupun harus multitasking antara kuliah, kerja dan berdagang.

Foto Giovanni setelah mengamen di daerah Bekasi: Medium
Setelah lulus kuliah dia
memutuskan untuk berhenti menjadikan musik sebagai profesi dia, dan mulai
menyadari kalau passion dia yang
sebenarnya adalah dalam dunia komputer.
Dia mendapatkan pekerjaan pertama
dia sebagai Java Developer melalui
program bootcamp di salah satu perusahaan IT di Jakarta.
Tentu saja proses itu tidak
mudah, dia harus bersaing dengan hampir 30 orang yang ikut program tersebut.
Dimana mayoritas dari mereka adalah lulusan Kampus IT yang cukup populer dan
terbaik di Indonesia.
Di tahun 2017 dia melihat ada
program Gerakan 1000 Startup Digital
yang di inisiasi Kemkominfo dan KIBAR, awalnya pada saat itu dia berfikir
kegiatan tersebut dapat mengisi waktu kosong dia pada hari sabtu dan minggu.
Di acara tersebut dia bertemu dengan teman-teman founders Bizhare
yang lain. Proses mereka bertemu pun cukup unik, karena dia sulit untuk memulai
percakapan apalagi berkenalan dengan orang baru di kondisi ramai, dia kesulitan
untuk mencari tim pada sesi networking.
Sampai setelah waktu break makan
siang, dia ditawari oleh seseorang untuk bergabung ke tim nya karena dia juga
belum menemukan orang tech sebagai Hacker
dalam tim (orang itu adalah Heinrich Vincent, CEO Bizhare saat ini).
Tanpa pikir panjang dia langsung
ikut bergabung karena tidak ada waktu lagi untuk memilih tim di sesi
networking.
Ternyata apa yang dia prediksi di
awal salah, kegiatan yang tadinya dia anggap sebagai pengisi waktu weekend dia
saja, ternyata menjadi sesuatu yang sangat menguras tenaga dan pikiran dia.
Saat itu dia masih bekerja di
siang hari sebagai software engineer di salah satu perusahaan e-commerce, dan
kuliah kelas karyawan di malam hari.
Hal itu membuat dia hampir setiap
hari tidur diatas jam 12 malam dan tidak ada hari libur sabtu minggu untuk
dapat menyelesaikan pekerjaan kantor, tugas kuliah dan membangun platform
Bizhare.
Pada tahun 2018, akhirnya dia
dapat menyelesaikan pendidikan S1 dia walaupun lebih lama satu tahun dari yang dia
targetkan.
Namun dia sangat senang karena di
tahun yang sama mereka berhasil merilis website pertama Bizhare.
Dalam perjalanannya mereka juga
turut berkontribusi dengan membantu menyusun POJK no 37 tentang Layanan Urun
Dana di Indonesia bersama OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
Akhirnya pada akhir tahun 2019 mereka mendapatkan izin resmi dari OJK sebagai
penyelenggara Equity Crowdfunding di Indonesia.
Setelah itu pertumbuhan jumlah investor dan partner bisnis mereka pun meningkat tajam.
Foto: Medium
Yang sama sekali tidak mereka
duga adalah, dia dan satu Founder
Bizhare lainnya (Heinrich Vincent, CEO Bizhare) ketika itu mendapatkan
penghargaan dari Forbes Indonesia 30 Under 30 untuk kategori Teknologi pada
tahun 2020.
Dia tidak percaya bisa masuk ke
dalam daftar yang sangat bergengsi di dunia bisnis tersebut. Saat itu dia
sangat terharu.
Mengingat apa yang dia lakukan
hampir setiap hari tidur tengah malam sejak hari pertama memutuskan untuk
membangung Bizhare pada pertengahan 2017.
Dia sangat bersyukur Tuhan
memberikan dia hadiah lebih dari apa yang dia bayangkan di awal.
Dilansir dari Medium, saat ini
Bizhare sudah beberapa kali mengalami pengembangan sistem dan produk.
Tahun 2021 ini Bizhare mendapatkan perluasan izin pertama di Indonesia dari OJK, yang sebelumnya Equity Crowdfunding menjadi Securities Crowdfunding.

Tinggalkan Komentar