Kisah Mantan Pengamen yang Sukses Masuk Forbes 30 Under 30

Teknologi.id . September 20, 2021

Foto: Nusa Mandiri

Teknologi.id -  Banyak orang yang mungkin sering merasa kehidupan ini tidak adil atau percaya bahwa beberapa pencapaian hanya dapat didapatkan oleh mereka yang mempunyai privilege saja.

Semoga artikel ini dapat memberikan pencerahan bahwa: Tidak ada yang benar-benar tidak mungkin, kecuali kita sendiri yang menghukum mati masa depan kita dengan tidak memberinya kesempatan untuk berkembang dan menikmati proses dalam setiap tantangan kehidupan.

Namanya Giovanni Umboh, lahir dari keluarga sederhana, Ayahnya seorang karyawan swasta dan Ibunya seorang Ibu Rumah Tangga.

Mereka hidup seperti mayoritas keluarga sederhana pada umumnya, namun ketika krisis moneter 1998 terjadi Ayahnya terkena PHK.

Sejak saat itulah kehidupan keluarga mereka berubah, mereka harus membiasakan diri untuk hidup prihatin.

Dia pun harus berusaha lebih keras untuk apapun yang dia inginkan sejak kecil dan membuat dia bersikap lebih dewasa dari teman-teman seumurannya.

Di saat teman-teman dia sudah memiliki fasilitas seperti handphone dan kendaraan untuk berangkat ke sekolah, dia harus berjalan kaki melewati sawah untuk sampai ke sekolah.

Uang jajan pun hanya sekedar saja dan tidak rutin dia dapatkan. Namun dengan semua keterbatasan tersebut, hal positifnya adalah dia jadi lebih sering menghabiskan waktu di rumah untuk belajar dan berfikir.

Iya, sejak kecil dia sering kali melamun mempertanyakan kenapa kehidupan dia berbeda dari teman-teman seusianya.

Jangankan punya Nintendo atau Playstation pada saat itu, TV saja mereka tidak punya. Dia harus pergi ke rumah saudara atau tetangga dekat rumah untuk menumpang nonton TV.

Mereka hanya memiliki sebuah radio di ruang tamu. Dia sering mendengarkan lagu-lagu di radio dan kaset milik orang tua, mungkin dari sanalah ketertarikan dia dengan dunia musik muncul.

Dia ingin sekali bisa bermain gitar pada saat itu, untuk itu dia meminjam gitar dari anak teman Ibu dia sebelum akhirnya dia bisa membeli gitar pertamanya sendiri kelas 3 SMA.

Singkat cerita dia bertemu dengan teman-teman yang mempunyai minat yang sama di dunia musik, dan beruntungnya mereka dapat menggunakan fasilitas studio musik rumahan milik sepupunya untuk latihan gratis.

Sejak saat itu, sabtu minggu dia pun penuh dengan jadwal latihan band di rumah sepupunya tersebut.

Untuk mencari uang jajan tambahan dan mengasah mental tampil di depan umum, mereka memutuskan untuk ngamen di daerah Bekasi.

Responnya pun cukup bagus karena group ngamen mereka sudah sering latihan di studio. Meskipun penampilan mereka seperti pengamen pada umumnya, tapi tip yang diberikan oleh orang-orang yang ada di sana cukup besar.

Sampai akhirnya mereka pindah dari hanya satu tempat saja ke beberapa titik tempat di Bekasi. Dan ternyata menjadi pengamen pun ada aturannya, banyak wilayah-wilayah yang sudah diklaim oleh pengamen sekitar sehingga tidak jarang mereka diusir dari wilayah ngamen mereka.

Namun seiring berjalan waktu dia mulai mempertanyakan apakah bermusik itu merupakan passion atau sekedar hobi dia saja?

Yang menjadi keraguan terbesar dia adalah karena dunia musik dengan lingkungan orang-orang yang supel dan easy going sangat bertolak belakang dengan kepribadian dia yang introvert dan perfeksionis.

Dia merasa menjadi orang lain ketika berada di lingkungan tersebut. Di waktu bersamaan dia ditawari untuk kuliah di kampus dan jurusan yang dia minati oleh Tantenya.

Tentu saja tadinya dia berfikir musik adalah hidup dan matinya, namun kesempatan untuk bisa kuliah di jurusan yang sejak sekolah dia minati tidak bisa dia sia-siakan.

Proses pemilihan kampus pun dia pertimbangkan agar tidak terlalu membebani Alm. Om dan Tante yang membiayai dia.

Dia memilih kampus yang paling murah biayanya di antara semua kampus ternama yang ditawarkan kepada dia.

Di dalam proses perkuliahan, dia sempat bekerja menjadi waiters di salah satu tempat karaoke di Jakarta (waktu kerja nya di mulai dari sore selepas pulang kuliah, sampai subuh menjelang masuk kuliah pagi).

Berjualan keripik dan berjualan sendal di kampus untuk menambah uang jajan dan kebutuhan perkuliahan yang pada saat itu tidak ingin dia bebankan semua ke Alm. Om dan Tantenya.

Alhamdulillah di tahun 2014, dia berhasil menyelesaikan pendidikan D3 dia tepat waktu walaupun harus multitasking antara kuliah, kerja dan berdagang.

Foto Giovanni setelah mengamen di daerah Bekasi: Medium

Setelah lulus kuliah dia memutuskan untuk berhenti menjadikan musik sebagai profesi dia, dan mulai menyadari kalau passion dia yang sebenarnya adalah dalam dunia komputer.

Dia mendapatkan pekerjaan pertama dia sebagai Java Developer melalui program bootcamp di salah satu perusahaan IT di Jakarta.

Tentu saja proses itu tidak mudah, dia harus bersaing dengan hampir 30 orang yang ikut program tersebut. Dimana mayoritas dari mereka adalah lulusan Kampus IT yang cukup populer dan terbaik di Indonesia.

Di tahun 2017 dia melihat ada program Gerakan 1000 Startup Digital yang di inisiasi Kemkominfo dan KIBAR, awalnya pada saat itu dia berfikir kegiatan tersebut dapat mengisi waktu kosong dia pada hari sabtu dan minggu.

Di acara tersebut dia bertemu dengan teman-teman founders Bizhare yang lain. Proses mereka bertemu pun cukup unik, karena dia sulit untuk memulai percakapan apalagi berkenalan dengan orang baru di kondisi ramai, dia kesulitan untuk mencari tim pada sesi networking.

Sampai setelah waktu break makan siang, dia ditawari oleh seseorang untuk bergabung ke tim nya karena dia juga belum menemukan orang tech sebagai Hacker dalam tim (orang itu adalah Heinrich Vincent, CEO Bizhare saat ini).

Tanpa pikir panjang dia langsung ikut bergabung karena tidak ada waktu lagi untuk memilih tim di sesi networking.

Ternyata apa yang dia prediksi di awal salah, kegiatan yang tadinya dia anggap sebagai pengisi waktu weekend dia saja, ternyata menjadi sesuatu yang sangat menguras tenaga dan pikiran dia.

Saat itu dia masih bekerja di siang hari sebagai software engineer di salah satu perusahaan e-commerce, dan kuliah kelas karyawan di malam hari.

Hal itu membuat dia hampir setiap hari tidur diatas jam 12 malam dan tidak ada hari libur sabtu minggu untuk dapat menyelesaikan pekerjaan kantor, tugas kuliah dan membangun platform Bizhare.

Pada tahun 2018, akhirnya dia dapat menyelesaikan pendidikan S1 dia walaupun lebih lama satu tahun dari yang dia targetkan.

Namun dia sangat senang karena di tahun yang sama mereka berhasil merilis website pertama Bizhare.

Dalam perjalanannya mereka juga turut berkontribusi dengan membantu menyusun POJK no 37 tentang Layanan Urun Dana di Indonesia bersama OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

Akhirnya pada akhir tahun 2019 mereka mendapatkan izin resmi dari OJK sebagai penyelenggara Equity Crowdfunding di Indonesia.

Setelah itu pertumbuhan jumlah investor dan partner bisnis mereka pun meningkat tajam.

Foto: Medium

Yang sama sekali tidak mereka duga adalah, dia dan satu Founder Bizhare lainnya (Heinrich Vincent, CEO Bizhare) ketika itu mendapatkan penghargaan dari Forbes Indonesia 30 Under 30 untuk kategori Teknologi pada tahun 2020.

Dia tidak percaya bisa masuk ke dalam daftar yang sangat bergengsi di dunia bisnis tersebut. Saat itu dia sangat terharu.

Mengingat apa yang dia lakukan hampir setiap hari tidur tengah malam sejak hari pertama memutuskan untuk membangung Bizhare pada pertengahan 2017.

Dia sangat bersyukur Tuhan memberikan dia hadiah lebih dari apa yang dia bayangkan di awal.

Dilansir dari Medium, saat ini Bizhare sudah beberapa kali mengalami pengembangan sistem dan produk.

Tahun 2021 ini Bizhare mendapatkan perluasan izin pertama di Indonesia dari OJK, yang sebelumnya Equity Crowdfunding menjadi Securities Crowdfunding.

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar