Foto : The Verge
Teknologi.id - Setelah beberapa laporan tentang uji aktivitas vaksin, diketahui jika vaksin COVID-19 keluaran Pfizer, BioNTech, dan Moderna memiliki banyak kesamaan. Berdasarkan laporan yang telah beredar, kesamaan dari vaksin COVID-19 produksi Pfizer, BioNTech, dan Moderna adalah sama-sama vaksin berbasis gen, efektif dalam uji klinis, dan masing-masing memerlukan dosis sebanyak dua suntikan.
Vaksin bekerja dengan cara memaparkan sebagian kecil virus / virus yang telah dilemahkan ke dalam tubuh, agar sistem kekebalan tubuh dapat belajar mengenalinya. Lebih dari satu dosis berarti lebih banyak kesempatan bagi sistem kekebalan, untuk mencari tahu secara tepat bagaimana cara melawan infeksi di waktu yang akan datang. Perlu diketahui, jika sistem kekebalan tubuh membutuhkan waktu untuk mempelajari cara efektif melawan virus.
“Jika Anda melihat semua vaksin yang disetujui FDA, sebagian besar akan membutuhkan banyak dosis. Sistem kekebalan tubuh membutuhkan waktu paparan ekstra untuk mempelajari cara efektif melawan virus. Hal tersebut dimanfaatkan oleh tubuh untuk mempelajari virus, karena saat itu virus tidak bisa bereplikasi di dalam tubuh,” kata Otto Yang, spesialis penyakit menular di UCLA Health.
Baca Juga : Siap Produksi, Vaksin COVID-19 Moderna Diklaim Efektif 94,5%
“Saat Anda pertama kali terpapar sesuatu, sistem kekebalan sebenarnya mulai bekerja dari awal. Patogen, seperti virus corona, memiliki area spesifik yang disebut antigen, yang memicu sel kita memproduksi antibodi untuk melawan infeksi. Vaksin memicu produksi antibodi spesifik yang dapat melawan sesuatu seperti virus. Beberapa dosis vaksin memberi tubuh kesempatan untuk memproduksi lebih banyak antibodi. Mereka juga memberi tubuh pasokan sel memori yang kuat, yang tetap di dalam tubuh setelah terpapar dalam beberapa waktu. Sel-sel ini siap merespons antigen spesifik tersebut jika muncul lagi. Dengan banyak dosis (dosis yang tepat sesuai anjuran dokter), tubuh yang terpapar memiliki lebih banyak antigen, sehingga lebih banyak sel memori yang dibuat. Respons antibodi juga menjadi lebih cepat dan lebih efektif di masa mendatang, sewaktu-waktu virus itu menyerang lagi," tambah Yang.
Perlu diketahui jika sel di dalam tubuh memiliki umur. Begitu pun dengan sel memori, yang tidak dapat bertahan selamanya dan akan mati bila sudah waktunya. Inilah sebabnya mengapa orang membutuhkan suntikan penguat (booster) untuk mempertahankan respons kekebalan terhadap infeksi seperti yang dilakukan untuk melindungi tubuh dari tetanus dan difteri.
Booster, seperti namanya, adalah pendorong respons yang sudah ditetapkan. Booster sering kali diberikan hanya dalam satu suntikan, karena itu sudah cukup untuk membangunkan respons yang sudah ada. Namun, beberapa dosis awal berbeda dari suntikan booster, karena menghasilkan respons awal nyatanya lebih sulit daripada menghidupkan kembali respons yang telah ada.
Menurut Yang, dua suntikan adalah dosis terbaik untuk membuat jumlah antibodi dan sel memori yang efektif, tetapi persyaratan tersebut menimbulkan masalah logistik. Artinya, dua kali lebih banyak bahan, jarum, dan botol. Terlebih vaksin itu sendiri perlu diproduksi, disimpan, dan didistribusikan dalam suatu protokol khusus agar tidak mudah rusak.
Meskipun vaksin keluaran Pfizer, BioNTech, dan Moderna saat ini dilaporkan memerlukan dua dosis, masih ada lusinan vaksin produksi perusahaan lain yang belum mencapai uji coba tahap selanjutnya. Contohnya adalah Johnson & Johnson, yang sedang menguji kemanjuran dosis tunggal dan dosis dua suntikan vaksin mereka untuk mengevaluasi dan membandingkan kemanjuran jangka panjang. Kedepannya, mungkin akan ada solusi yang lebih sederhana, tetapi untuk saat ini, kemungkinan vaksin COVID-19 pertama yang tersedia bakal diberikan dalam dua suntikan.
Baca Juga : Kabar Baik! Uji Vaksin Pfizer Efektif 90% Atasi Virus Corona
(af)
Tinggalkan Komentar