Selamat Tinggal Lithium! Google Gunakan Baterai Udara CO2 untuk Energi Hijau

Wildan Nur Alif Kurniawan . December 30, 2025


Foto: Energy Dome

Teknologi.id – Raksasa teknologi Google secara resmi mengumumkan langkah strategis dalam transformasi energi global dengan memperkenalkan teknologi baterai baru yang tidak lagi bergantung pada mineral langka seperti lithium dan nikel. Melalui kemitraan strategis dengan Energy Dome, sebuah perusahaan rintisan (startup) yang berbasis di Milan, Italia, Google berencana mengimplementasikan sistem penyimpanan energi berbasis gas karbon dioksida (CO2). Langkah ini merupakan bagian dari upaya besar Google untuk mencapai operasional bebas emisi di seluruh pusat data (data center) mereka yang tersebar di wilayah Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Pasifik.

Teknologi ini muncul sebagai solusi atas keterbatasan baterai lithium-ion konvensional yang memiliki tantangan besar dalam hal rantai pasok mineral dan dampak lingkungan dari penambangan. Dengan memanfaatkan mekanisme yang disebut sebagai "baterai udara" atau baterai CO2, Google berupaya menutup celah stabilitas pada pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang sifatnya fluktuatif, guna memastikan pasokan listrik hijau yang konsisten selama 24 jam penuh bagi infrastruktur digital mereka.

Mekanisme Kerja Energy Dome: Mengubah Gas Menjadi Cairan

Inti dari inovasi yang dikembangkan bersama Energy Dome adalah penggunaan kubah raksasa yang berfungsi sebagai wadah penyimpanan gas karbon dioksida yang terkompresi. Berbeda dengan baterai kimia tradisional yang menyimpan energi dalam bentuk reaksi elektrolit, baterai CO2 ini menggunakan siklus termodinamika. Proses pengisian energi dimulai ketika terdapat surplus atau kelebihan energi dari pembangkit listrik ramah lingkungan (seperti panel surya pada siang hari atau kincir angin saat angin kencang).

Energi berlebih tersebut digunakan untuk mengompresi gas CO2 hingga mencapai tekanan tinggi. Selama proses penyimpanan yang memakan waktu sekitar 10 jam, sistem akan menggunakan energi panas untuk mendinginkan gas CO2 hingga suhu ruang, lalu menggunakan kondensor untuk mengubah gas tersebut menjadi bentuk cair. Cairan CO2 ini kemudian disimpan di dalam tangki bertekanan. Saat pusat data membutuhkan pasokan listrik, cairan CO2 tersebut dilepaskan, dipanaskan kembali hingga berubah menjadi uap, dan tekanannya digunakan untuk memutar turbin pembangkit listrik.


Foto: Energy Dome

Baca juga: Komdigi Perintahkan Google Hapus 7 Aplikasi Matel Fasilitator Pencurian Data

Kapasitas Skala Besar untuk Pusat Data dan Pemukiman

Fasilitas yang dikembangkan oleh Energy Dome diklaim mampu menyimpan energi dalam kapasitas yang sangat besar. Satu unit fasilitas penyimpanan ini disebutkan memiliki kapasitas mencapai 200 MWh (Megawatt-hour). Sebagai gambaran efektivitasnya, kapasitas tersebut mampu memasok kebutuhan listrik untuk sekitar 6.000 rumah. Skala ini jauh lebih efisien untuk penggunaan industri dan infrastruktur berat seperti pusat data dibandingkan baterai lithium skala kecil yang lebih cocok untuk perangkat elektronik konsumen atau kendaraan listrik.

Kelebihan utama dari sistem ini adalah kemampuannya untuk melakukan standarisasi infrastruktur. Menurut Ainhoa Anda, perwakilan dari pihak Google, pendekatan yang ditawarkan oleh Energy Dome sangat menarik karena sifatnya yang plug and play. Hal ini memungkinkan Google untuk mengintegrasikan teknologi baterai CO2 ini pada lokasi-lokasi pusat data yang sudah memiliki infrastruktur jaringan listrik yang mapan namun masih menghadapi tantangan dalam hal penyimpanan energi terbarukan yang surplus.

Pemutusan Rantai Ketergantungan pada Mineral Tanah Jarang

Selama dekade terakhir, industri teknologi terjebak dalam ketergantungan pada lithium, nikel, dan kobalt sebagai komponen utama baterai. Mineral-mineral ini tidak hanya langka, tetapi proses penambangannya sering kali memicu isu lingkungan dan geopolitik yang kompleks. Inovasi Google dan Energy Dome memberikan alternatif yang radikal karena sistem ini sama sekali tidak membutuhkan bahan baku mineral tanah jarang tersebut.

Dengan menghilangkan kebutuhan akan logam-logam berat ini, Google tidak hanya mengamankan rantai pasoknya dari fluktuasi harga komoditas tambang, tetapi juga mengurangi jejak kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekstraksi mineral di berbagai belahan dunia. Karbon dioksida yang digunakan dalam sistem ini berfungsi sebagai media perantara yang beroperasi secara tertutup (closed-loop), sehingga secara teori material utamanya dapat digunakan berulang kali tanpa perlu penggantian rutin seperti sel kimia baterai biasa.

Tantangan Emisi dan Risiko Kebocoran Gas

Meskipun menawarkan solusi tanpa mineral langka, teknologi baterai CO2 bukan tanpa celah. Berdasarkan laporan yang dikutip dari IEEE Spectrum, terdapat catatan kritis mengenai jejak emisi. Baterai berbasis karbon dioksida ini disebut memiliki potensi emisi yang lebih besar jika dibandingkan dengan siklus hidup baterai lithium. Fokus utamanya terletak pada risiko kebocoran infrastruktur.

Jika terjadi kerusakan pada kubah penyimpanan atau kegagalan pada sistem penyegelan gas, maka karbon dioksida yang seharusnya tersimpan untuk memutar turbin dapat lepas ke atmosfer. Mengingat CO2 adalah gas rumah kaca utama, kebocoran dalam skala besar justru dapat memperburuk pemanasan global, berbanding terbalik dengan misi awal pengembangan energi hijau. Oleh karena itu, keamanan struktur fisik dan sistem monitoring kebocoran menjadi prioritas utama dalam pembangunan prototipe ini.

Ekspansi Global dari Sardinia Hingga India

Saat ini, Energy Dome tengah membangun prototipe skala besar di atas lahan seluas 5 hektare yang berlokasi di Sardinia, Italia. Lokasi ini menjadi tempat pembuktian apakah teknologi kompresi gas ini dapat diandalkan dalam operasional harian yang intens. Keberhasilan di Sardinia akan menjadi lampu hijau bagi Google untuk mereplikasi fasilitas serupa di berbagai belahan dunia.

Rencana ekspansi selanjutnya telah mencakup beberapa lokasi strategis, termasuk di Amerika Serikat dan India. Pemilihan India sebagai salah satu lokasi utama menunjukkan bahwa teknologi ini diharapkan dapat diadopsi di negara-negara dengan kebutuhan energi yang masif namun masih dalam tahap transisi menuju energi bersih. Google terus mencari lokasi pusat data yang memiliki surplus energi terbarukan untuk langsung dihubungkan dengan baterai CO2 ini sebagai penyeimbang beban listrik.

Baca juga: Google Disco: Browser AI yang Bisa Ciptakan Aplikasi dari Setiap Tab Secara Real-Time

Masa Depan Penyimpanan Energi Jangka Panjang

Inisiatif Google ini menandai pergeseran paradigma dalam teknologi penyimpanan energi jangka panjang (Long-Duration Energy Storage). Dengan kemampuan menyimpan energi selama 10 jam atau lebih dalam satu siklus, teknologi Energy Dome mengatasi kelemahan baterai lithium yang biasanya lebih optimal untuk pemakaian durasi pendek. Ini menjadi kunci bagi perusahaan teknologi besar untuk benar-benar lepas dari ketergantungan pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil sebagai cadangan saat malam hari atau saat angin tidak bertiup.

Implementasi ini juga menunjukkan bahwa inovasi di bidang energi tidak selalu harus melibatkan penemuan material kimia baru di laboratorium, melainkan bisa berupa rekayasa cerdas terhadap elemen yang sudah ada di sekitar kita, yaitu udara dan karbon dioksida. Ke depannya, baterai udara ini diharapkan menjadi standar baru bagi operasional infrastruktur digital global yang lebih berkelanjutan.

Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News.

(WN/ZA)


author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar