Teknologi.id - Perang antara raksasa Eropa, Rusia dengan Ukraina akhirnya benar-benar meletus setelah sebelumnya, pada Kamis (24/2) pagi waktu setempat, Presiden Vladimir Putin mengumumkan untuk memulai operasi militer di Ukraina.
Tak lama setelah pengumuman Putin tersebut, rentetan ledakan terjadi setidaknya pada tujuh kota di Ukraina, termasuk di Ibu Kota Kiev dan juga kota terbesar kedua di Ukraina, Kharkiv, yang terletak 35 kilometer (20 mil) selatan perbatasan Rusia.
Dalam sejumlah serangan tersebut, Kementerian Pertahanan Rusia mengklaim telah menghancurkan pangkalan udara militer Ukraina sekaligus melumpuhkan sistem pertahanan udaranya, seperti dikutip dari kantor berita AFP.
Sementara itu, petugas perbatasan Ukraina melaporkan pasukan darat Rusia telah memasuki wilayah mereka dari berbagai arah, mulai dari perbatasan Belarusia, wilayah Luhansk, Sumy, Kharkiv, Chernihiv dan Zhytomyr hingga melalui semenanjung Krimea. Militer Rusia diketahui memasuki wilayah Ukraina dengan mengendarai tank dan alat berat lainnya.
Lantas, apa sih sebenarnya penyebab yang menjadi latar belakang meletusnya perang antara Rusia dengan Ukraina tersebut?
Baca juga: Rusia Resmi Serang Ukraina, Perang Dunia Ketiga Dimulai?
Penyebab Konflik Rusia-Ukraina
Melongok kilas balik sejarah kedua negara, Ukraina dan Rusia adalah negara dengan sejarah yang terkait erat di zaman kuno. Dikutip dari BBC, Kievan Rus didirikan di tanah Slavia Timur oleh keturunan Viking (bangsa Varangian) dari Dinasti Rurik yang bermukim di Novgorod (sekarang Rusia).
Pemimpin legendaris bernama Oleg memindahkan ibu kota dari Novgorod ke Kiev pada Abad 9 Masehi. Abad ke 11, Kiev menjadi pusat politik dan kebudayaan terkemuka di Eropa Timur. Artinya, Ukraina dan Rusia memang terkait erat sejak zaman dahulu kala.
Berkaca pada sejarah tersebut, pemimpin Rusia Vladimir Putin baru-baru ini menyatakan bahwa "Rusia dan Ukraina adalah satu orang, satu kesatuan."
Terlibat konflik sejak 1917
Konflik Rusia vs Ukraina sendiri memang sudah mulai terjadi pada tahun 1917 saat digencarkannya Revolusi Bolshevik. Dilansir dari National Geographic, Ukraina adalah salah satu dari banyak negara yang terlibat dalam perang saudara yang brutal sebelum sepenuhnya diambil oleh Uni Soviet pada tahun 1922.
Pada awal tahun 1930-an, untuk memaksa petani bergabung dengan pertanian kolektif, pemimpin Soviet Joseph Stalin mengatur sebuah bencana kelaparan yang mengakibatkan kelaparan massal dan kematian jutaan orang Ukraina.
Setelah itu, Stalin mengimpor sejumlah besar orang Rusia dan warga negara Soviet lainnya (banyak yang tidak memiliki kemampuan berbahasa Ukraina dan hanya memiliki sedikit ikatan dengan wilayah tersebut) untuk membantu mengisi kembali penduduk di timur.
Warisan sejarah ini menciptakan garis patahan yang bertahan lama. Karena Ukraina timur berada di bawah kekuasaan Rusia jauh lebih awal daripada Ukraina barat, orang-orang di timur memiliki ikatan yang lebih kuat dengan Rusia dan cenderung mendukung para pemimpin yang condong ke Rusia.
Sebaliknya, Ukraina barat menghabiskan waktu berabad-abad di bawah kendali pergeseran kekuatan Eropa seperti Polandia dan Kekaisaran Austro-Hungaria, salah satu alasan mengapa Ukraina di barat cenderung mendukung lebih banyak politisi yang condong ke Barat. Populasi timur cenderung lebih berbahasa Rusia dan Ortodoks, sementara bagian barat lebih berbahasa Ukraina dan Katolik.
Penolakan perdagangan 2013 dan digulingkannya presiden pro-Rusia
Ukraina memperoleh kemerdekaannya setelah lepas dari Uni Soviet pada 1991 lalu. Hubungan Rusia dan Ukraina mulai memanas pada 2013 yang disebabkan oleh kesepakatan politik dan perdagangan penting dengan Uni Eropa, dilansir dari BBC.
Demi hubungan yang lebih dekat dengan Moskow, Presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych, menolak perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa. Penolakan tersebut memicu protes massa hingga Viktor Yanukovych digulingkan dari jabatannya pada 2014. Penggulingan tersebut direspon Rusia dengan menganeksasi wilayah Krimea.
Pencaplokan Krimea pada 2014
Pada Maret 2014, Rusia melakukan pencaplokan terhadap Krimea, sebuah semenanjung otonom di Ukraina selatan dengan loyalitas terhadap Rusia yang kuat. Pencaplokan ini dilakukan dengan dalih membela kepentingan warga negara yang berbahasa Rusia.
Dalam waktu beberapa hari, Rusia selesai mencaplok Krimea. Pencaplokan di Semenanjung Krimea ini mendorong pecahnya pemberontakan separatis pro-Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk, tempat pendeklarasian kemerdekaan dari Ukraina. Pemberontakan ini memicu pertempuran sengit berbulan-bulan. Tercatat, lebih dari 14.000 orang tewas akibat konflik tersebut.
Gagalnya perjanjian damai pada 2015
Tahun 2015 lalu, Rusia dan Ukraina berupaya melakukan perjanjian damai untuk mengakhiri pertempuran skala besar dengan ditengahi oleh Prancis dan Jerman.
Namun, upaya tersebut gagal mencapai penyelesaian politik. Gencatan senjata pun berulang kali dilanggar.
Ukraina ingin gabung NATO
Konflik Rusia dan Ukraina juga disebabkan oleh keinginan Ukraina untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO).
NATO sendiri didirikan pada tahun 1949 dan telah berkembang ke 30 negara, termasuk bekas negara-negara republik Soviet, yakni Lituania, Estonia dan Latvia.
Hal tersebut memicu ketegangan Rusia yang melarang Ukraina untuk bergabung dengan NATO. Presiden Rusia Vladmir Putin sangat marah dengan prospek pangkalan NATO di sebelah perbatasannya dan menyebut bergabungnya Ukraina dengan aliansi transatlantik pimpinan AS itu akan menandai perlintasan 'garis merah' antar keduanya. Tentu saja Ukraina tidak mau diatur Rusia.
Pasukan Rusia mendekati perbatasan Ukraina
Pada November 2021 lalu, citra satelit memperlihatkan penumpukan pasukan baru Rusia di perbatasan dengan Ukraina. Dilansir AL Jazeera, Ukraina menyebut Rusia telah memobilisasi 100 ribu tentara bersama dengan tank dan perangkat keras militer lainnya.
Kemudian, pada 24 Januari 2022, NATO menempatkan pasukan di Eropa Timur. Kedutaan-kedutaan negara Barat mulai mengevakuasi staf kedutaan dari Ibu Kota Ukraina, Kiev, sebagaimana dilansir Al Jazeera.
Perang Rusia-Ukraina meletus
Rusia sempat terlihat menarik pasukan dari perbatasan, sebelum akhirnya benar-benar menyerang Ukraina pada hari ini, Kamis, 24 Februari 2022.
Ledakan terdengar tidak hanya di bagian timur Ukraina yang berbatasan dengan Rusia, namun juga di Kiev, Ibu Kota Negara. Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memohon Presiden Rusia Vladimir Putin menghentikan serangan militer ke Rusia, atas nama kemanusiaan.
Sementara Putin justru memperingatkan negara-negara lain yang ikut campur dalam perang tersebut akan mendapatkan konsekuensi berat dari pihaknya.
"Setiap upaya untuk campur tangan akan mengarah pada konsekuensi yang belum pernah Anda lihat," ancam Putin.
Dua Alasan Utama Putin Serang Ukraina
Putin membeberkan dua alasan utama melancarkan invasi ke Ukraina. Alasan pertama melancarkan operasi militer khusus ke wilayah Donbas, Ukraina adalah karena pemimpin separatis daerah itu telah meminta bantuan Rusia terkait klaim serangan pasukan Ukraina ke wilayah mereka.
"Republik Rakyat Donbas menyampaikan permintaan bantuan ke Rusia. Sehubungan dengan itu, saya membuat keputusan melancarkan operasi militer khusus," kata Putin dalam pidatonya yang disiarkan di televisi dikutip TASS, Kamis (24/2).
Alasan kedua Putin melancarkan invasi adalah klaimnya untuk melindungi orang-orang yang menjadi target "pelecehan hingga genosida" dari pemerintah Ukraina selama delapan tahun terakhir.
Donbas atau Donbass merupakan titik panas konflik berdarah antara pasukan Ukraina dan kelompok separatis pro-Rusia sejak Moskow mencaplok Crimea pada 2014 lalu.
"Dan untuk tujuan-tujuan itu, kami akan berusaha melakukan demiliterisasi dan mengadili mereka di Ukraina yang melakukan banyak kejahatan berdarah terhadap warga sipil, termasuk warga negara Rusia," jelas Putin.
Sebagai informasi, mayoritas penduduk di wilayah Donbas terutama Donetsk dan Luhansk memang fasih berbahasa Rusia dan dekat dengan kultur Negeri Beruang Merah. Rusia bahkan telah memberikan ratusan ribu masyarakat di Donbas status warga negara.
Putin menyatakan keadilan dan kebenaran ada di pihak Rusia. Ia menganggap kesejahteraan, keberhasilan, serta kesehatan masyarakat selalu berasal dari sistem akar yang kuat dari budaya dan nilai-nilai, yang berdasarkan pengalaman dan tradisi nenek moyang.
(dwk)