Teknologi.id - Mahasiswa dari Universitas Airlangga (Unair), yaitu Eko Mangku Cipto dan Harianto Rantesalu berhasil membongkar penipuan berbasis situs yang mengatasnamakan bantuan sosial (bansos) di Amerika Serikat yang melenggang bebas selama pandemi. Keduanya membongkar modus penipuan kasus DMV Website Scampage atau pemalsuan domain website yang dikelola oleh pemerintah Amerika Serikat.
Secara latar belakang pendidikan, kedua mahasiswa tersebut berasal dari jenjang S2 Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) yang mempelajari paradigma penegakan hukum serta kaitannya dengan kehidupan masyarakat.
Melalui penemuan tersebut, kedua WNI tersebut diundang ke markas besar Federal Bureau Investigation (FBI) di Cleveland, Ohio.
Baca juga: Paksa Karyawan Nyalakan Kamera saat Meeting, Perusahaan Bisa Dikenai Pelanggaran HAM
Tujuan Kehadiran ke Markas FBI
Kehadiran mereka ke kantor FBI bertujuan untuk menjelaskan secara detail mengenai teknik penyelidikan dan penyidikan terhadap dua tersangka kasus pemalsuan yang kini telah berhasil diringkus oleh pihak kepolisian.
Bukan hanya FBI yang dilibatkan, tetapi Polda Jawa Timur dan tim siber Ditreskrimsus sebagai pihak pertama yang menemukan tindakan pemalsuan website tersebut juga turut andil dalam penanganan kasus.
Awal mula pengungkapan kasus adalah ketika tersangka pemalsuan yang berasal dari India meminta bantuan kepada kedua WNI untuk membuat website dengan domain yang sudah dipalsukan sebagai sarana untuk mencuri data-data penerima bansos di Amerika Serikat. Kedua WNI diiming-imingi pembayaran berupa bitcoin.
Kedua tersangka WNI berinisial SFR dan MZM bertindak sebagai penyebar dan pembuat website palsu, serta ditangkap di Tegalsari, Surabaya pada 1 Maret 2021. Kedua tersangka WNI tersebut sengaja memalsukan website untuk mengorek data pribadi penerima Bansos di Amerika Serikat untuk nantinya dipakai mencarikan dana PUA (Pandemic Unemployment Assistance).
Total kerugian finansial yang disebabkan oleh tindakan para tersangka diestimasi sebesar Rp. 420.000.000 dengan jumlah data yang berhasil dicuri sebanyak 30.000 data warga Amerika Serikat.
(MAJ)