
Teknologi.id - Akhir-akhir ini, beredar video di media sosial yang menampilkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, seolah menyebut guru sebagai beban negara. Video ini langsung menimbulkan reaksi publik karena dianggap kontroversial dan menghina profesi guru.
Namun, melalui unggahannya di Instagram pada 19 Agustus 2025, Sri Mulyani membantah tuduhan tersebut. Ia menegaskan bahwa video itu adalah hoaks dan hasil deepfake.
"Potongan video yang beredar yang menampilkan seolah-olah saya menyatakan guru sebagai beban negara adalah HOAX. Faktanya, saya tidak pernah menyatakan bahwa guru sebagai beban negara. Video tersebut adalah hasil deepfake dan potongan tidak utuh dari video saya dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus lalu. Marilah kita bijak dalam bermedia sosial," tulis Sri Mulyani melalui akun Instagram @smindrawati.
Sri Mulyani menambahkan bahwa video yang beredar telah diubah sedemikian rupa, sehingga seolah-olah ia mengatakan hal yang tidak pernah diucapkan. Dalam forum di ITB, pernyataannya justru menekankan pentingnya peran guru dan tenaga pendidik dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Penyebaran video deepfake ini tidak hanya merugikan Sri Mulyani, tetapi juga menimbulkan kegelisahan masyarakat. Kasus ini menambah panjang daftar penyalahgunaan teknologi deepfake di Indonesia.
Baca juga: Menkeu Sri Mulyani Ingin Pendidikan Saham Diajarkan di Sekolah Dasar
Apa Itu Deepfake?
Menurut BBC, deepfake adalah video, gambar, atau rekaman audio yang dibuat dengan AI sehingga terlihat nyata. Teknologi ini sering digunakan untuk hiburan atau penelitian ilmiah, tetapi bisa disalahgunakan untuk meniru orang lain, termasuk politisi atau tokoh publik, dengan tujuan menyesatkan masyarakat.
Deepfake tidak hanya bisa membuat seseorang terlihat mengucapkan hal yang tidak pernah diucapkan, tetapi juga meniru gerakan wajah dan ekspresi dari video atau bahkan foto. Hasilnya bisa sangat realistis meski beberapa masih mudah dikenali sebagai tiruan.
Cara Kerja Deepfake
Berdasarkan Geeks for Geeks, deepfake dibuat menggunakan algoritma jaringan saraf tiruan, terutama Autoencoder dan Generative Adversarial Network (GAN):
-
Autoencoder: mempelajari dan meniru pola wajah seseorang.
-
GAN: menggabungkan dua jaringan saraf — generator yang membuat gambar palsu dan discriminator yang mengecek keasliannya.
AI memproses data dalam dua tahap:
-
Motion estimator: menganalisis urutan gambar dan arah gerakan.
-
Video generator: menciptakan visual realistis sehingga tampak seperti interaksi manusia nyata.
Perkembangan deepfake sangat cepat. Laporan internasional mencatat jumlah video deepfake meningkat drastis dari 15.700 pada 2019, menjadi lebih dari 85.000 pada 2020, dan melampaui 100.000 pada akhir 2021.
Penggunaan Deepfake
Di ranah hiburan, deepfake digunakan untuk efek visual atau video kreatif. Contohnya:
-
Video Jon Snow yang seolah meminta maaf atas akhir cerita Game of Thrones.
-
Wajah muda Harrison Ford untuk karakter Han Solo di Solo: A Star Wars Story.
Namun, sebagian besar penyalahgunaan deepfake bersifat negatif. Riset menunjukkan 96% konten deepfake di internet adalah pornografi, dengan wajah selebritas atau tokoh terkenal ditempelkan ke tubuh aktor dewasa.
Dampak negatif lainnya termasuk menurunnya kepercayaan publik, kesulitan pengadilan dalam memverifikasi bukti, hingga keamanan sistem biometrik yang mudah dibohongi.
Baca juga: Viral Pecahan Uang Rupiah Baru Rp80 Ribu dan Rp250 Ribu, Fakta atau Hoaks?
Kesimpulan
Kasus video hoaks yang menyeret nama Sri Mulyani menunjukkan bahaya penyalahgunaan deepfake. Teknologi yang awalnya untuk hiburan kini sering dimanfaatkan untuk menyebarkan hoaks, merusak reputasi, dan menimbulkan keresahan publik.
Untuk mencegah dampak negatif, masyarakat perlu meningkatkan literasi digital, sementara pemerintah harus memperkuat regulasi agar deepfake digunakan secara positif, bukan menjadi ancaman bagi kepercayaan publik dan keamanan digital.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(fs)