Demi Keamanan, AS Akan Minta Turis Serahkan Riwayat Media Sosial 5 Tahun Terakhir!

Yasmin Najla Alfarisi . December 11, 2025

Foto: Freepik

Teknologi.id -  Pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump kembali mengajukan proposal pengetatan perbatasan yang signifikan. Berdasarkan proposal baru dari pejabat tinggi AS, wisatawan dari puluhan negara yang memenuhi syarat untuk mengunjungi AS tanpa visa (melalui program Visa Waiver) wajib menunjukkan riwayat media sosial mereka sebagai syarat masuk.

Aturan ini akan memengaruhi turis dari sekitar 40 negara yang eligible (memenuhi syarat) untuk mengunjungi AS selama 90 hari tanpa visa, asalkan mereka mengisi formulir Sistem Elektronik untuk Otorisasi Perjalanan (Electronic System for Travel Authorization/ESTA).

Alasan Kemanan dan Pengetatan Perbatasan

Foto: Getty Images

Sejak Presiden Donald Trump kembali menjabat di Gedung Putih pada Januari, fokus utama pemerintahannya adalah memperketat perbatasan AS dengan alasan keamanan nasional.

Beberapa analis mengatakan bahwa rencana baru ini dapat menjadi hambatan bagi calon pengunjung, atau melanggar hak digital mereka, serta kemungkinan adanya penurunan angka pengunjung asing, namun Trump mengatakan kalau ia tidak khawatir.

"Kami hanya ingin orang datang ke sini, dengan aman. Kami menginginkan keamanan. Kami menginginkan keselamatan [...] Kami ingin memastikan kami tidak membiarkan orang yang salah masuk ke negara kami."

Pengetatan ini dilakukan menjelang kenaikan angka turis yang diperkirakan AS tahun depan, mengingat negara tersebut akan menjadi tuan rumah Piala Dunia (World Cup) bersama Kanada dan Meksiko.

Detail Proposal Data Media Sosial

Proposal ini diusulkan oleh Departemen Keamanan Tanah Air (Department of Homeland Security/DHS) bersama Penjaga Bea Cukai dan Perbatasan (Customs and Border Protection/CBP).

Dokumen tersebut menyatakan bahwa "elemen data akan mengharuskan pemohon ESTA untuk menyediakan informasi media sosial mereka dari lima tahun terakhir," tanpa memberikan detail lebih lanjut mengenai bagaimana informasi tersebut akan diverifikasi atau digunakan.

ESTA harus diisi dengan informasi dari pengunjung, disertai bayaran sebesar 40 dolar AS (sekitar Rp 666.868). Formulir ini dapat diakses turis dari sekitar 40 negara, termasuk Inggris, Irlandia, Prancis, Australia, dan Jepang, yang mengizinkan mereka berkunjung ke AS beberapa kali dalam waktu dua tahun.

Selain riwayat media sosial, formulir ini juga menanyakan:

  • Nomor telepon yang digunakan selama lima tahun terakhir.
  • Alamat email yang digunakan selama sepuluh tahun terakhir.
  • Informasi mengenai anggota keluarga.

Proposal ini merupakan bagian dari perintah eksekutif Trump yang lebih besar,  berjudul: "Melindungi Amerika Serikat dari Teroris Asing dan Ancaman Keamanan Nasional dan Ketertiban Umum Lainnya"

Baca juga: AS Bongkar Skema Penyelundupan GPU Nvidia Senilai US$160 Juta ke Cina

Reaksi Publik dan Penegakan Visa Lain

Saat ini, Feedback publik mengenai proposal data ini akan dibuka selama 60 hari ke depan, menunjukkan bahwa kebijakan ini belum final.

"Ini bukan keputusan akhir, ini hanya langkah pertama dari awal diskusi mengenai kebijakan baru yang akan menjaga kemanan warga Amerika," jelas seorang juru bicara CBP.

Namun, organisasi hak digital seperti Electronic Frontier Foundation mengkritik proposal ini. Sophia Cope dari organisasi tersebut menyatakan bahwa kebijakan ini dapat "memperparah kebebasan sipil".

Perlu diketahui, pemerintahan Trump sebelumnya juga mengumumkan kebijakan untuk memeriksa akun media sosial pengunjung asing yang mendaftar visa pelajar atau visa H-1B. Pendaftar diwajibkan mengubah profil media sosial mereka menjadi publik agar dapat dilihat dan digunakan untuk menilai kehadiran digital pendaftar. Jika ada informasi yang tidak disebutkan, dapat menyebabkan penolakan visa yang sedang berjalan dan yang akan datang.

Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan mengenai kebijakan visa ini: “Ini adalah harapan dari warga Amerika bahwa pemerintah akan melakukan segala upaya untuk membuat negara kita lebih aman, itulah yang dilakukan oleh Administrasi Trump setiap hari.”

Petugas yang bertugas diperintahkan untuk menyaring mereka yang “mendukung, membantu, atau memberikan dukungan kepada teroris asing yang ditunjuk dan ancaman lain terhadap keamanan nasional; atau yang melakukan pelecehan atau kekerasan antisemit yang ilegal”.

Baca juga: Aturan Visa H-1B Baru Trump Ancaman Serius bagi Perusahaan Teknologi AS

Dampak Potensial pada Industri Wisata

Sebagai bagian dari upaya administrasi untuk memperketat perbatasan, para petinggi baru-baru ini mengatakan bahwa larangan perjalanan yang sudah ada - yang berlaku untuk 19 negara di Afrika, Timur Tengah, dan Karibia - dapat diperluas. Langkah ini diumumkan setelah insiden penembakan dua anggota Garda Nasional di Washington DC, di mana seorang pria Afghanistan dituduh sebagai pelakunya.

Para ahli sebelumnya menyarankan bahwa perubahan kebijakan perjalanan yang diperkenalkan di bawah pemerintahan Trump telah berdampak pada industri pariwisata Amerika.

Awal tahun ini, Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia (World Travel and Tourism Council/WTTC) melaporkan bahwa AS adalah satu-satunya dari 184 ekonomi yang dianalisis yang diperkirakan akan mengalami penurunan pengeluaran wisatawan internasional pada tahun 2025.

Kebijakan lain pemerintahan Trump juga tampaknya memengaruhi pariwisata, seperti banyak warga Kanada yang dilaporkan memboikot perjalanan ke AS sebagai bentuk protes terhadap tarif Trump. Oktober menandai bulan ke-10 berturut-turut penurunan jumlah wisatawan Kanada yang berkunjung ke AS. Padahal, di masa lalu, wisatawan Kanada menyumbang sekitar seperempat dari total pengunjung internasional ke AS, dengan pengeluaran lebih dari $20 miliar per tahun.


Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.


(yna/sa)


Share :