Risiko Tersembunyi di Balik Ketergantungan AI: Gen Z Terlalu Percaya Teknologi?

Aisyah Khoirunnisa' . September 01, 2025

Foto: Ideo

Teknologi.id – Generasi Z, yang dikenal sebagai digital native, kini semakin mengukuhkan posisinya sebagai ujung tombak adopsi teknologi. Berbagai survei terbaru menunjukkan bahwa Gen Z bukan hanya pengguna awal (early adopters) kecerdasan buatan (AI), melainkan sudah menjadi super-users yang mengintegrasikan AI ke dalam hampir setiap aspek kehidupan mereka.

Namun, di balik antusiasme yang masif ini, tersimpan risiko tersembunyi yang menimbulkan pertanyaan besar: apakah generasi muda ini terlalu percaya pada AI hingga mengabaikan keterampilan manusia yang fundamental?

Baca juga: ChatGPT Jadi Sahabat Gen Z? Sam Altman Bilang: Jangan Terlalu Bergantung!

Hubungan Kompleks Gen Z dan AI: Dari Percaya Diri hingga Kecemasan

Data dari berbagai lembaga riset menunjukkan bahwa hubungan Gen Z dengan AI jauh lebih kompleks dari yang terlihat. Mereka sangat mengandalkan AI, tetapi pada saat yang sama juga menyimpan rasa khawatir.

Ketergantungan Intens dan Kepercayaan Berlebih

Menurut riset dari Salesforce, 70% Gen Z telah menggunakan AI generatif dalam aktivitas sehari-hari mereka. Bahkan, 52% di antaranya percaya bahwa AI bisa membantu dalam pengambilan keputusan.

Penggunaan AI yang semakin intens ini terlihat dari pengakuan pengguna: 52% mengatakan bahwa mereka kini lebih sering menggunakan AI dibandingkan saat pertama kali mencobanya. Fenomena ini menegaskan bahwa Gen Z sudah berada di tahap di mana mereka merasa semakin mahir dan nyaman menggunakan AI secara rutin.

Paradoks Kepercayaan dan Kecemasan

Meskipun terlihat percaya diri, hubungan Gen Z dengan AI tidak sesederhana itu. Penelitian Gallup terhadap 3.465 pekerja Gen Z menunjukkan bahwa hampir setengahnya (47%) menggunakan AI generatif setiap minggu.

Namun, laporan yang sama juga mengungkap bahwa 41% dari mereka merasa cemas terhadap teknologi ini. Artinya, kedekatan dan penggunaan intensif AI tidak selalu diikuti dengan pemahaman kritis. Paradoks ini menegaskan bahwa Gen Z menyadari potensi AI, tetapi juga merasakan ketidakpastian dan risiko yang menyertainya.

Risiko AI Mengikis Keterampilan Esensial di Tempat Kerja

Ketergantungan berlebihan pada AI berpotensi mengikis keterampilan esensial yang dibutuhkan di dunia kerja.

Minimnya Keterampilan Evaluasi dan Soft Skills

Riset dari Aithor menunjukkan bahwa hampir 80% profesional Gen Z menggunakan AI untuk lebih dari separuh tugas mereka, dan 38% mengaku bergantung pada AI setiap hari. Namun, tidak semua memiliki kemampuan menilai kapan AI memberikan jawaban yang salah atau menyesatkan.

Survei TalentLMS juga menemukan bahwa penggunaan AI secara intensif justru beriringan dengan menurunnya keterampilan dasar di tempat kerja. Pekerja muda yang sangat bergantung pada AI dilaporkan lebih kesulitan dalam kerja sama tim, komunikasi, serta membangun relasi profesional.

Dengan kata lain, alat yang dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas justru berpotensi melemahkan soft skills yang menjadi fondasi kesuksesan karier jangka panjang.

Gen Z Sadar Risiko, Tapi Perlu Pengembangan Diri

Meski demikian, Gen Z tidak sepenuhnya menutup mata terhadap ancaman tersebut. Laporan Udemy mencatat bahwa 30% Gen Z ingin mengembangkan keterampilan AI, namun pada saat yang sama mereka juga menekankan pentingnya komunikasi (30%) dan berpikir kritis (26%).

Mayoritas responden Gen Z, yaitu 84%, menganggap soft skills sebagai kunci keberhasilan profesional. Kesadaran ini menegaskan bahwa AI memang bisa menjadi alat bantu penting, tetapi tidak akan pernah mampu menggantikan keterampilan manusia yang mendasar.

Baca juga: Meta Hadirkan NPC AI di Horizon Worlds, Bisa Ajak Pemain Ngobrol

Kesimpulan

Ketergantungan Gen Z pada AI menghadirkan dilema besar. Meskipun mereka adalah super-users yang paling aktif, terdapat risiko tersembunyi yang berpotensi mengikis soft skills dan keterampilan evaluasi.

Laporan dari berbagai lembaga riset membuktikan bahwa penggunaan AI secara masif tidak selalu diimbangi dengan pemahaman kritis. Walaupun Gen Z menyadari pentingnya keterampilan manusia, tantangan terbesar adalah bagaimana menyeimbangkan adopsi teknologi dengan pengembangan kemampuan esensial seperti komunikasi dan berpikir kritis.

Pada akhirnya, masa depan pekerjaan dan kreativitas tidak akan ditentukan oleh seberapa canggih AI yang kita miliki, melainkan oleh seberapa bijak kita menggunakannya. AI seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan, bukan menggantikan, potensi manusia yang sesungguhnya.

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.

(ak)

Share :