
Sumber: the information
Teknologi.id – Di era kecerdasan buatan (AI) yang berkembang pesat, generasi muda—khususnya Gen Z—muncul sebagai pengguna paling aktif. Tak hanya menggunakan AI untuk belajar atau mencari informasi, mereka kini mulai menjadikan chatbot seperti ChatGPT sebagai teman curhat, penasihat hidup, bahkan penentu keputusan penting. Fenomena ini membuat Sam Altman, CEO OpenAI sekaligus pencipta ChatGPT, angkat bicara dengan nada serius.
Baca juga: Ternyata Bukan Rahasia! Obrolan ChatGPT Bisa Jadi Bukti di Pengadilan
Sam Altman: Jangan Andalkan AI untuk Segala Hal
Dalam sebuah konferensi yang diadakan Federal Reserve, Altman mengungkapkan kekhawatirannya. Ia menyebut bahwa banyak anak muda kini menggantungkan hidupnya pada ChatGPT secara emosional.
“Ada anak muda yang bilang, ‘Aku nggak bisa ambil keputusan tanpa curhat ke ChatGPT. Dia tahu semua tentang aku dan teman-temanku. Aku akan ikuti apa pun yang dia bilang.’ Itu terdengar sangat buruk bagiku,” ujar Altman, dikutip dari Business Insider.
Menurut Altman, masalahnya bukan karena ChatGPT gagal menjalankan fungsinya, melainkan karena AI ini terlalu berhasil hingga melampaui peran alat bantu dan berubah menjadi kompas hidup bagi sebagian pengguna muda.
Statistik yang Mengkhawatirkan
Data menunjukkan bahwa ChatGPT melayani lebih dari 2,5 miliar permintaan setiap hari dengan lebih dari 500 juta pengguna aktif mingguan. Mayoritas dari pengguna ini adalah generasi muda.
Sebuah laporan dari Common Sense Media menyebut:
-
72% remaja menggunakan AI sebagai “pendamping digital”.
-
50% lebih mempercayai saran dari AI.
-
Bahkan 23% remaja menyatakan percaya sepenuhnya pada saran yang diberikan AI.
Yang mengejutkan, anak usia 13-14 tahun lebih mudah mempercayai AI dibanding usia 15-17 tahun—menunjukkan tingkat kerentanan yang tinggi secara psikologis terhadap pengaruh chatbot.
AI Boleh Jadi Teman, Tapi Bukan Pengganti Hubungan Nyata
Altman menegaskan, meskipun AI bisa memberikan saran yang tampak logis—bahkan mungkin lebih baik dari terapis manusia—bukan berarti AI layak menjadi penentu hidup.
“Bahkan jika saran ChatGPT lebih baik dari terapis mana pun, tetap saja terasa berbahaya jika kita hidup sesuai dengan kata-kata AI,” ungkap Altman.
Ia mengingatkan bahwa ketergantungan emosional terhadap AI bisa memutus hubungan antarindividu. Ketika anak muda lebih nyaman curhat ke mesin dibanding orang tua, sahabat, atau guru, maka nilai-nilai sosial dan emosional manusia bisa terkikis secara perlahan.
Masalahnya Bukan AI, Tapi Cara Kita Memakainya
Pakar teknologi dan pendidikan menyuarakan kekhawatiran serupa. Mereka memperingatkan bahwa AI yang algoritmanya tidak transparan bisa membentuk persepsi dan keputusan pengguna tanpa disadari.
AI juga berkembang sangat cepat—dalam hitungan 3 hingga 6 bulan, nilai-nilai yang dibawanya bisa berubah drastis. Sementara manusia tidak berevolusi secepat itu. Jika anak muda mengandalkan AI sebagai panduan hidup tanpa filter kritis, maka masalah besar tinggal menunggu waktu.
Jangan Lupakan Aspek Sosial Manusia
Altman menutup pernyataannya dengan refleksi mendalam: perkembangan AI bukan hanya soal efisiensi dan produktivitas, tapi tentang identitas manusia dan hubungan sosial.
“Ini bukan cuma soal produktivitas. Ini tentang bagaimana kita saling terhubung dan tumbuh sebagai masyarakat,” tegasnya.
Baca juga: 10 Prompt ChatGPT yang Bikin Dagangan Laku Keras! Sudah Coba?
Kesimpulan
AI seperti ChatGPT memang bisa jadi alat bantu yang cerdas dan efisien. Namun, saat peran AI mulai melampaui batas sebagai teman curhat, konsultan hidup, atau kompas moral, kita perlu waspada. Generasi muda harus dibekali dengan literasi digital yang kuat agar tidak kehilangan kendali dan makna hubungan manusia.
Pertanyaannya sekarang: Apakah ChatGPT sudah jadi asisten, teman, atau malah pengganti manusia dalam hidupmu?
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(mo)

Tinggalkan Komentar