Teknologi.id - Konflik antara Iran dan AS yang semakin memanas diprediksi berpotensi merembet ke ranah siber.
Adalah pakar keamanan siber, Pratama Persadha yang memprediksi hal tersebut dan mengungkapkan adanya kemungkinan negara-negara lain maupun kelompok-kelompok tertentu ikut terlibat perang siber.
"Pernyataan Trump memperkuat perkiraan, saat ini sedang terjadi cyberwarfare antara kedua negara, yang kemungkinan besar diikuti oleh negara-negara lain maupun kelompok-kelompok tertentu," ujar Pratama dikutip dari Antara, Kamis (9/1).
Ia juga mengimbau agar Indonesia tidak terseret dalam serangan siber, masyarakat perlu menghindari pemakaian VPN (virtual private network) dari negara-negara yang sedang berkonflik beserta sekutunya.
Baca juga: Mengulik Kecanggihan Drone Amerika yang Tewaskan Jenderal Iran
"Kenapa tidak disarankan menggunakan IP negara berkonflik, hal ini untuk menghindari adanya serangan malware ke IP negara tertentu. Serangan malware massif bisa saja terjadi seperti saat wannacry dan nopetya hadir di pertengahan 2017," jelas Pratama.
Dalam sejarah pertikaian Iran, AS dan Israel, Pratama mengatakan selalu melibatkan saling retas, saling serang sistem, yang paling terkenal adalah serangan stuxnet dari Israel yang menargetkan sistem nuklir Iran.
Website Program Penyimpan Federal (The Federal Depository Library Program) juga diserang dengan mengubah tampilan situs menjadi tampilan bendera Iran, disertai foto pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei dan gambar wajah Donald Trump dengan mulut berdarah.
Menurut Pratama, secara umum agar masyarakat dunia melihat, serangan dilakukan dengan cara melakukan deface ke website yang dimiliki pemerintah, maupun perusahaan yang mereprestasikan negara tersebut.
Baca juga: Dipamerkan di CES 2020, OnePlus Concept One Dilengkapi Kamera Tersembunyi
"Artinya, ancaman serangan siber tidak hanya harus diwaspadai oleh instansi negara, namun juga perusahaan besar," kata Pratama.
Pratama juga mengingatkan untuk selalu mengecek dan waspada pada pemakaian teknologi asal AS di instansi pemerintah.
"Ditakutkan serangan kepada raksasa teknologi AS bisa berimbas juga ke para pemakai di tanah air. Dalam hal ini seharusnya BIN dan BSSN sudah mengantisipasi lebih jauh," ujar Pratama.
Meski begitu, dampak yang mungkin akan terasa di Tanah Air, menurut Pratama, lebih kepada perang opini di media sosial.
"Namun mengingat syiah bukan mayoritas muslim di Tanah Air, isu oleh buzzer belum massif sejauh ini. Isu di media sosial banyak bersumber dari media massa mainstream," lanjut dia.
(dwk)