Foto: The Pathway
Teknologi.id - Tak hanya makhluk hidup seperti manusia, Bumi pun bisa
sakit dan melemah. Parahnya, tanda vital planet kita disebut para ilmuwan
semakin melemah karena ulah manusia.
Sebut saja proses bisnis global
yang masih belum terlalu memperhatikan perubahan iklim, membuat emisi karbon
belum dapat ditekan sehingga tanda-tanda vital Bumi menurun.
Bahkan ilmuwan khawatir sebagian
kerusakan Bumi sudah dekat pada titik yang tidak dapat diperbaiki.
Seperti dikutip detikINET dari
AFP, sebanyak 14 ribu ilmuwan mendeklarasikan darurat iklim global dan
menyatakan bahwa pemerintah secara terus-menerus gagal untuk mencari solusi
dari masalah perubahan iklim, yakni eksploitasi yang berlebihan terhadap Bumi.
Dari studi ini, sebanyak 18 tanda vital tercatat menurun, bahkan memecahkan rekor. Catatan ini termasuk konsentrasi tertinggi gas rumah kaca, metana dan nitrogen oksida, serta massa es terendah yang pernah ada di Greenland dan Antartika.
Baca juga: Mendali Tokyo Olympics 2020 dari tumpukan elektronik "bekas"
Para penulis menyoroti tanda-tanda vital tersebut antara
lain sebagai berikut:
- Tahun 2020 adalah tahun terpanas kedua dalam sejarah, dengan rekor lima tahun terpanas semuanya terjadi sejak 2015
- Pada April 2021, konsentrasi karbon dioksida mencapai 416 bagian per juta. Ini adalah konsentrasi rata-rata global bulanan tertinggi yang pernah tercatat
- Tingkat kehilangan hutan tahunan Amazon Brasil meningkat pada tahun 2019 dan 2020, mencapai tingkat tertinggi dalam 12 tahun dengan 1,11 juta hektar deforestasi pada tahun 2020
- Pengasaman laut mendekati rekor sepanjang masa, berbarengan dengan meningkatnya suhu panas. Hal itu mengancam terumbu karang yang menjadi sandaran lebih dari setengah miliar orang untuk makanan, pariwisata, dan perlindungan gelombang badai.
Memang tidak semua catatannya buruk. Kabar baiknya, divestasi bahan bakar fosil dan subsidi bahan bakar fosil meningkat signifikan.
Baca juga: Jeff Bezos Tawarkan Puluhan Triliun ke NASA Demi ke Bulan
Para peneliti dengan gigih
menyerukan penghentian penggunaan bahan bakar fosil, dan harga karbon global
yang cukup tinggi untuk mendorong dekarbonisasi yang meluas.
Pandemi COVID-19 memiliki efek
samping yang sedikit berkontribusi pada perlambatan dampak krisis iklim.
Namun, ini tidak akan bertahan
lama. Pelajaran utama dari pandemi, kata para penulis, adalah bahwa penurunan
transportasi dan konsumsi yang sangat besar pun tidak cukup untuk mengatasi
dampak perubahan iklim.
Sebaliknya, perubahan sistem
transformasional diperlukan, bahkan meskipun jika secara politik tidak populer.
(fpk)