Teknologi.id - Pemerintah Indonesia tengah merencanakan penerapan sistem baru untuk tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line, di mana penetapan tarif ini akan berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Rencana ini muncul sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk memastikan subsidi transportasi publik yang lebih tepat sasaran. Namun, wacana ini telah memicu berbagai reaksi dari masyarakat, terutama di media sosial, yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap aksesibilitas layanan KRL.
Wacana penerapan tarif berbasis NIK telah menimbulkan gelombang protes di kalangan masyarakat, terutama melalui platform media sosial seperti Instagram dan X. Banyak warga yang mempertanyakan logika di balik kebijakan ini, mengingat KRL adalah salah satu moda transportasi yang diandalkan oleh berbagai kalangan tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi.
Baca juga: Cara Pesan Tiket Kereta Cepat Whoosh Online atau pun Offline
Salah satu akun yang turut menyuarakan penolakannya adalah @biasalahanakmuda, yang menyebarkan kritiknya melalui unggahan yang kemudian diikuti oleh banyak pengguna lainnya.
"Penasaran yg bikin kebijakan pernah naik krl apa engga. Subsidi berdasarkan nik padahal ngetap nya kan pake emoney," tulis seorang netizen yang dengan lugas menyuarakan kekesalannya terhadap kebijakan yang dinilai tidak masuk akal ini.
Wacana ini dinilai kontraproduktif dengan tujuan awal penggunaan transportasi umum yang ramah lingkungan. "Wacana subsidi tarif krl yang disegmentasi berdasarkan NIK ini konyol. Kalo tujuannya untuk mengurangi emisi karbon kenapa harus ada segmentasi gini?" tulis netizen lainnya yang mempertanyakan relevansi kebijakan ini dengan pengurangan emisi karbon.
Kritik ini sejalan dengan pandangan bahwa kebijakan tersebut bisa membuat masyarakat semakin enggan menggunakan transportasi umum jika aksesnya dipersulit.
Pemerintah dan Rencana Penerapan Tarif Berbasis NIK
Dalam Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (RAPBN) Tahun 2025, disebutkan bahwa pemerintah berencana menerapkan sistem tarif KRL berbasis NIK mulai tahun 2025.
Sistem ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengoptimalkan subsidi Public Service Obligation (PSO) senilai Rp4,79 triliun yang dialokasikan untuk PT KAI. Subsidi ini mencakup operasional berbagai layanan kereta, termasuk KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodetabek.
Penerapan tarif berbasis NIK ini berarti masyarakat tidak akan lagi menikmati layanan KRL dengan tarif yang seragam seperti saat ini. Sebagian pengguna akan mendapatkan subsidi, sementara lainnya mungkin harus membayar tarif penuh tanpa subsidi.
"Penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek," demikian bunyi kutipan dari Buku Nota Keuangan 2025 yang menjelaskan rencana tersebut.
Tanggapan Direktorat Jenderal Perkeretaapian
Menanggapi kekhawatiran yang berkembang di masyarakat, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan menyatakan bahwa rencana penerapan tarif berbasis NIK ini belum akan diberlakukan dalam waktu dekat.
Direktur Jenderal Perkeretaapian, Risal Wasal, menegaskan bahwa penyesuaian tarif KRL Jabodetabek belum akan segera dilakukan. "Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan memastikan belum akan ada penyesuaian tarif KRL Jabodetabek dalam waktu dekat. Dalam hal ini, skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK belum akan segera diberlakukan," kata Risal Wasal dalam wawancara dengan Uzone.id.
Risal juga menyatakan bahwa penerapan sistem ini adalah bagian dari upaya untuk memastikan subsidi yang lebih tepat sasaran. Namun, ia mengakui bahwa rencana ini masih dalam tahap pembahasan dan akan diberlakukan secara bertahap.
"Nantinya skema ini akan diberlakukan secara bertahap, dan akan dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum ditetapkan," tambah Risal.
Selain itu, DJKA juga berencana untuk melibatkan berbagai pihak dalam diskusi publik, termasuk akademisi dan perwakilan masyarakat, guna memastikan bahwa skema tarif yang akan diberlakukan tidak memberatkan pengguna KRL.
"Diskusi publik ini akan dilakukan setelah skema pentarifan selesai dibahas secara internal, dan merupakan bagian dari sosialisasi kepada masyarakat," tambahnya.
Meskipun belum ada penjelasan detail mengenai bagaimana skema ini akan diimplementasikan, berbagai spekulasi muncul di tengah masyarakat. Salah satu kemungkinan adalah penggantian kartu elektronik saat ini dengan kartu yang terhubung langsung ke NIK pengguna.
Namun, masih belum jelas apakah kartu ini akan berbeda bagi pengguna yang mendapat subsidi dan yang tidak. Hingga kini, rencana tersebut masih dalam tahap pembahasan lebih lanjut oleh pemerintah.
Reaksi publik terhadap wacana ini cukup beragam, meskipun sebagian besar cenderung menolak. Masyarakat mengkhawatirkan bahwa segmentasi tarif ini akan mengurangi aksesibilitas layanan KRL yang selama ini menjadi andalan berbagai kalangan, termasuk pekerja dan pelajar.
Dalam konteks yang lebih luas, wacana ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan transportasi publik di Indonesia. Apakah sistem baru ini akan benar-benar membantu mencapai tujuan subsidi yang tepat sasaran, atau justru akan menambah beban bagi pengguna layanan? Hingga saat ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut masih belum memiliki jawaban pasti.
Baca Berita dan Artikel lain di Google News.
(bmm)