Teknologi.id - Elon Musk, miliuner sekaligus pemilik platform media sosial X (sebelumnya Twitter), baru-baru ini menjadi sorotan tajam setelah sistem chatbot kecerdasan buatan (AI) bernama Grok, yang dikembangkan oleh Musk, mengidentifikasi dirinya sebagai penyebar misinformasi terbesar di platform tersebut. Pernyataan ini mengejutkan banyak pihak, mengingat Musk adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia digital dan media sosial saat ini.
Baca juga: Apple Investasi Rp 1,5 Triliun demi Jual iPhone 16 di Indonesia, Ini Kata Menkomdigi
Grok AI Menilai Musk Sebagai Penyebar Misinformasi
Kejadian ini dimulai ketika salah
satu pengguna X, Gary Koepnick, bertanya kepada Grok mengenai siapa yang paling
sering menyebarkan informasi keliru di X. Tidak lama setelah pertanyaan
tersebut diajukan, Grok memberikan jawaban yang cukup mengejutkan. Berdasarkan
analisis data, Grok menyebut Elon Musk sebagai salah satu penyebar misinformasi
yang paling signifikan di X sejak ia mengakuisisi platform tersebut pada tahun
2022.
Grok, yang dirancang untuk
menganalisis pola data, sentimen media sosial, dan laporan-laporan terkait,
menjelaskan bahwa Musk seringkali memposting konten yang mempromosikan atau
mendukung informasi yang salah. Konten-konten tersebut banyak berfokus pada
isu-isu sensitif seperti politik, pemilihan umum, teori konspirasi, dan masalah
kesehatan seperti COVID-19. Grok menambahkan bahwa Musk juga pernah
berinteraksi dengan akun-akun kontroversial yang dikenal memiliki sejarah
penyebaran informasi keliru.
"Musk telah membuat banyak
unggahan yang dikritik karena mempromosikan atau mendukung informasi yang
salah," kata Grok, mengutip laporan dari Fortune pada 21 November 2024.
Dampak dari Penyebaran
Misinformasi oleh Elon Musk
Dengan lebih dari 100 juta
pengikut di X, setiap unggahan dari Elon Musk memiliki jangkauan yang sangat
luas dan cepat menyebar ke audiens global. Grok menyoroti bahwa karena
visibilitas Musk yang sangat tinggi, informasi keliru yang dia sebarkan sering kali
mendapat legitimasi dan penguatan dari para pengikutnya. Hal ini berisiko
menciptakan pengaruh yang sangat besar terhadap opini publik, terutama selama
peristiwa penting seperti pemilihan umum.
Musk, yang dikenal sering
mengkritik kebijakan pemerintah, sistem kesehatan, dan bahkan menyebarkan
teori-teori yang tidak terbukti, tidak hanya menarik perhatian media besar
tetapi juga mengarahkan pembicaraan di kalangan pengikutnya. Misalnya, pernyataan
kontroversialnya tentang vaksin COVID-19 dan dugaan pengaruhnya terhadap hasil
pemilu Amerika Serikat telah menambah ketegangan di dunia maya dan memperburuk
polarisasi.
"Setiap informasi keliru
yang dia posting segera memperkuat dan memberikan legitimasi kepada
kelompok-kelompok yang sudah memiliki pandangan tertentu," kata Grok.
Penyebaran Misinformasi di
Media Sosial
Fenomena penyebaran misinformasi
di media sosial telah menjadi masalah besar dalam beberapa tahun terakhir,
dengan platform seperti Facebook, Twitter (sekarang X), dan Instagram menjadi
tempat subur bagi penyebaran hoaks dan teori konspirasi. Penelitian menunjukkan
bahwa informasi yang salah cenderung lebih cepat tersebar di media sosial
dibandingkan dengan informasi yang benar. Dalam hal ini, peran pemimpin opini
seperti Elon Musk menjadi sangat penting, karena dapat mempengaruhi banyak
orang hanya dengan satu unggahan.
Sistem AI seperti Grok mencoba
untuk mengidentifikasi dan memberikan gambaran objektif mengenai siapa yang
berperan besar dalam penyebaran informasi keliru. Walaupun demikian, penilaian
semacam ini juga bisa menjadi kontroversial, mengingat definisi misinformasi
sangat subjektif dan sering kali bergantung pada perspektif ideologis pembaca.
Namun, Grok menegaskan bahwa
meskipun ada banyak aktor yang terlibat, termasuk bot dan akun anonim, Musk
masih berada di garis depan penyebaran misinformasi di X. Hal ini penting,
mengingat dampaknya terhadap opini publik, terutama dalam konteks demokrasi dan
pemilihan umum.
Tanggapan Musk terhadap
Kritikan Grok AI
Ironisnya, kritik ini datang
tidak lama setelah Elon Musk sendiri memuji Grok kepada para pengikutnya.
Melalui sebuah cuitan, Musk menyarankan agar para pengguna menggunakan Grok
untuk mendapatkan jawaban berdasarkan informasi terkini, bahkan sebelum AI-nya
memberikan tanggapan yang merugikan dirinya. "Gunakan Grok untuk
mendapatkan jawaban yang didasarkan pada informasi terkini!" tulis Musk
beberapa waktu lalu, yang kemudian diikuti oleh analisis mengejutkan tersebut.
Sebagai pengusaha yang berambisi untuk menyaingi OpenAI, Musk tampaknya ingin menciptakan alat yang tidak hanya cerdas tetapi juga dapat diterima oleh banyak pihak. Namun, ketergantungan pada algoritma untuk menilai informasi dapat menjadi pedang bermata dua, terutama ketika hasil analisisnya tidak sesuai dengan harapan.
Baca juga: Elon Musk Beli 100.000 Chip Nvidia Senilai 95 Miliar Rupiah, Untuk Apa ?
Kontroversi Seputar Grok dan Penyebaran Hoaks
Musk, yang sebelumnya terlibat
dalam kontroversi dengan OpenAI—organisasi yang ia bantu dirikan sebelum
meninggalkannya—juga pernah disorot karena penggunaan Grok dalam menyebarkan
hoaks. Pada bulan Agustus 2024, Grok sempat dituduh menjadi alat untuk menyebarkan
informasi yang salah terkait pemungutan suara, yang menyebabkan perusahaan
membuat perubahan pada algoritmanya.
Namun, meskipun Grok mendapat
kritik, ia tetap menjadi bagian dari upaya Musk untuk mengembangkan kecerdasan
buatan yang dapat berfungsi lebih luas dalam masyarakat. Dalam persaingan
antara perusahaan teknologi besar, seperti Meta yang mendukung sistem sumber
terbuka dan OpenAI yang lebih tertutup, Grok berada di tengah perdebatan
mengenai bagaimana teknologi AI seharusnya digunakan untuk mempengaruhi
kebijakan publik dan opini massa.
Baca Berita dan Artikel yang lain
di Google
News
(emh)