Teknologi.id - Di awal Agustus 2024, bisnis Google terancam pecah ketika Hakim Federal Amit Mehta dari Pengadilan Distrik Columbia menyatakan perusahaan tersebut bersalah atas gugatan monopoli yang diajukan oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) dan sejumlah koalisi negara bagian pada tahun 2020.
Keputusan ini merupakan bagian dari upaya besar pemerintah AS untuk meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan teknologi raksasa dan mendorong persaingan yang lebih adil di pasar.
Gugatan ini menjadi salah satu kasus antimonopoli terbesar di AS dalam waktu 25 tahun terakhir, setelah sidang antimonopoli Microsoft pada 1990-an. Pada waktu itu, DOJ menargetkan Microsoft karena dugaan penyalahgunaan dominasi sistem operasi Windows untuk memonopoli pasar perangkat lunak.
Google kini berada di bawah pengawasan ketat atas dugaan tindakan monopoli dalam bisnis mesin pencarian dan layanan terkait lainnya.
Kemungkinan Pemecahan Bisnis Google
Setelah putusan pengadilan, DOJ sedang memeriksa beberapa opsi penyelesaian yang dapat diambil untuk mengatasi masalah monopoli ini. Salah satu opsi yang paling agresif yang dipertimbangkan adalah memaksa Google untuk memecah bisnis intinya.
Menurut sumber yang akrab dengan situasi ini, opsi ini mencakup kemungkinan divestasi sistem operasi Android dan peramban web Google Chrome.
Android yang digunakan di sekitar 2,5 miliar pengguna di seluruh dunia, dan Chrome, yang merupakan peramban web paling populer, menjadi target utama untuk divestasi. DOJ melihat langkah ini sebagai upaya hukum yang signifikan untuk menciptakan persaingan yang lebih adil di pasar teknologi.
Pemisahan Android dan Chrome dari Google akan mengurangi dominasi perusahaan di pasar perangkat mobile dan peramban web, serta memberikan ruang bagi kompetitor untuk bersaing.
Baca juga: Google Luncurkan AI Overview di Indonesia, Simak Kegunaannya
Alasan di Balik Pemecahan
Keputusan untuk mempertimbangkan divestasi ini didasarkan ada temuan Hakim Mehta yang menunjukkan bahwa Google menggunakan kekuatan pasaranya untuk memaksa pembuat perangkat menandatangani perjanjian yang menguntungkan Google.
Dalam perjanjian tersebut, pembuat perangkat diwajibkan untuk memasang aplikasi Google seperti Gmail dan Google Play Store secara default, serta menempatkan widget pencarian Google dan browser Chrome di posisi yang tidak bisa dihapus.
Selain itu, Google juga telibat dalam kesepakatan senilai miliaran dolar dengan pembuat ponsel dan pengembang browser, seperti Apple dan Samsung, untuk menjadikan Google Search sebagai mesin pencari default di perangkat mereka.
Kesepakatan ini memberikan Google akses ke data pengguna yang sangat besar, yang kemudian digunakan untuk mempertahankan dominasinya di pasar pencarian umum, yang dikuasai Google dengan pangsa pasar sekitar 90%.
Dampak Potensial bagi Google
Jika DOJ memutuskan untuk memaksa divestasi Android dan Chrome, dampaknya bisa sangat signifikan bagi Google. Perusahaan ini tidak hanya akan kehilangan dua unit bisnis intinya, tetapi juga harus menghadapi tantangan dalam menjaga integrasi ekosistem yang telah dibangunnya selama bertahun-tahun.
Pemisahan ini juga bisa membuka peluang bagi pesaing untuk mengambil alih pangsa pasar yang sebelumnya didominasi oleh Google.
Namun, dampak tersebut tidak hanya akan dirasakan oleh Google. Industri teknologi secara keseluruhan juga akan terkena dampaknya, terutama dalam hal bagaimana perusahaan-perusahaan teknologi raksasa lainnya beroperasi di masa depan.
Jika Google dipaksa untuk memecah bisnisnya, ini bisa menjadi preseden bagi tindakan serupa terhadap perusahaan teknologi besar lainnya, seperti Apple, Amazon, atau Facebook.
Opsi Lain: Pemisahan Bisnis Iklan
Selain kemungkinan divestasi Android dan Chrome, DOJ juga mempertimbangkan opsi lain untuk mengurangi dominasi Google di pasar iklan digital. Sekitar dua pertiga dari total pendapatan Google berasal dari iklan pencarian, yang mencapai lebih dari 100 miliar dolar AS pada tahun 2020.
Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah memaksa Google untuk menjual platform iklannya, AdWords (sekarang dikenal sebagai Google Ads).
AdWords adalah platform yang digunakan Google untuk menjual iklan berbasis teks yang muncul di bagian atas halaman hasil pencarian. Platform ini memungkinkan pengiklan untuk menargetkan kata kunci tertentu yang terkait dengan bisnis mereka, dan Google memonopoli iklan teks pencarian ini untuk menarik pengguna ke situs web yang diiklankan.
Jika DOJ tidak meminta Google untuk menjual AdWords, mereka dapat meminta persyaratan interoperabilitas yang memungkinkan AdWords bekerja dengan lancar di mesin pencari lain.
Baca juga: Marak Nomor Penipu di Google Maps, Begini Cara Melaporkannya
Pembagian Akses Data Pengguna
Salah satu temuan penting dalam putusan Hakim Mehta adalah bahwa Google memperoleh hak istimewa sebagai mesin pencari default, yang memberikannya akses ke data pengguna yang sangat besar. Data ini digunakan Google untuk meningkatkan hasil pencarian dan mempertahankan dominasinya di pasar.
DOJ dikabarkan sedang mempertimbangkan untuk memaksa Google berbagi atau melisensikan data pengguna kepada pesaingnya, seperti Bing dari Microsoft atau DuckDuckGo.Langkah ini sejalan dengan tindakan yang pernah diambil DOJ dalam kasus antimonopoli sebelumnya.
Misalnya, dalam kasus AT&T pada tahun 1956, DOJ mewajibkan perusahaan untuk memberikan lisensi bebas royalti kepada paten-patennya. Dalam kasus Microsoft, perusahaan diwajibkan menyediakan sebagian antarmuka pemrograman aplikasinya (API) kepada pihak ketiga secara gratis, untuk memastikan program perangkat lunak dapat berkomunikasi dan bertukar data dengan efektif.
Upaya Banding Google
Google tidak tinggal diam setelah putusan ini. Perusahaan tersebut berencana untuk mengajukan banding atas keputusan pengadilan, meskipun proses banding ini diperkirakan akan memakan waktu hingga lima tahun. Kent Walker, Presiden Global Affairs Google, menyatakan bahwa perusahaan akan terus memperjuangkan posisinya di pengadilan.
Meskipun demikian, potensi pembubaran Google tetap ada, dan ini menandakan bahwa pemerintah AS semakin serius dalam mengawasi dan mengatur perusahaan teknologi raksasa. Hasil akhir dari kasus ini akan menjadi penentu arah masa depan industri teknologi, terutama dalam hal bagaimana perusahaan-perusahaan besar beroperasi dan bersaing di pasar global.
Baca Berita dan Artikel lain di Google News.
(bmm)