
Teknologi.id - “Amerika Serikat tidak membayar apa pun untuk saham ini, dan saham tersebut sekarang bernilai sekitar USD 11 miliar. Ini adalah kesepakatan hebat bagi Amerika dan juga bagi Intel,” ujar Presiden AS Donald Trump.
Pernyataan itu bukan sekadar retorika politik. Ia mencerminkan pergeseran besar dalam cara pemerintah Amerika Serikat memandang industri teknologi strategis, khususnya semikonduktor.
Baca juga: Donald Trump Balik Puji CEO Intel Usai Sebelumnya Desak Mundur, Ini Strateginya
Pemerintah AS Resmi Ambil 10% Saham Intel
Pada 23 Agustus 2025, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick mengumumkan bahwa pemerintah resmi mengambil 10% saham Intel, perusahaan semikonduktor raksasa yang menjadi tulang punggung produksi chip canggih di dalam negeri.
Dengan nilai investasi USD 8,9 miliar, pemerintah membeli 433,3 juta lembar saham Intel seharga USD 20,47 per saham, jauh di bawah harga pasar. Langkah ini bukan hanya transaksi bisnis, melainkan simbol intervensi negara dalam sektor swasta yang selama ini dijaga dengan prinsip pasar bebas.
Intel, CHIPS Act, dan Pergeseran Kebijakan Hibah
Sebagian besar dana investasi ini bersumber dari hibah CHIPS Act, kebijakan strategis untuk memperkuat produksi chip domestik dan mengurangi ketergantungan terhadap Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC).
-
USD 5,7 miliar berasal dari hibah CHIPS yang belum dicairkan.
-
USD 3,2 miliar dari program pemerintah terpisah untuk manufaktur chip.
Namun berbeda dari hibah konvensional, kali ini pemerintah menuntut imbalan berupa kepemilikan ekuitas.
“Kita harus mendapatkan saham ekuitas untuk uang kita,” tegas Lutnick.
Meski pemerintah memegang 10% saham, Intel menegaskan tidak ada kursi dewan direksi atau hak tata kelola yang diberikan. CEO Intel, Lip-Bu Tan, menyatakan bahwa Intel tetap berkomitmen menjaga produksi teknologi canggih tetap berada di AS.
Mengapa Harus Intel, dan Mengapa Sekarang?
Intel adalah satu-satunya perusahaan AS yang masih mampu melakukan riset dan manufaktur chip canggih di dalam negeri. Meski sempat tertinggal dari TSMC dalam efisiensi dan teknologi produksi, Intel kini sedang membangun pabrik chip raksasa di Ohio senilai miliaran dolar.
Pabrik tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2030, meski CEO Intel mengakui progresnya bisa diperlambat tergantung kondisi pasar. Dalam situasi penuh ketidakpastian, dukungan pemerintah menjadi krusial.
Menurut laporan Semiconductor Industry Association (SIA), pangsa pasar global AS dalam produksi chip merosot dari 37% pada 1990 menjadi hanya 12% pada 2020. SIA menekankan bahwa “investasi pemerintah sangat penting untuk membalikkan tren ini dan menjaga keamanan teknologi nasional.”
Antara Politik dan Teknologi
Kebijakan ini juga tidak bisa dilepaskan dari konteks politik di bawah pemerintahan Trump. Negara kini tidak hanya menjadi regulator, tapi juga investor aktif di industri strategis.
Trump menegaskan bahwa kesepakatan ini adalah kemenangan bagi Amerika, dan pemerintah harus memiliki bagian dari perusahaan teknologi besar. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan:
-
Apakah intervensi negara akan mengganggu independensi korporasi?
-
Apakah model ini akan menjadi preseden bagi sektor strategis lain?
Profesor MIT, Suzanne Berger, menyebut bahwa intervensi negara bisa menjadi alat strategis, namun harus diimbangi transparansi dan akuntabilitas agar tidak menimbulkan distorsi pasar.
Baca juga: Elon Musk: Investasi USD 150.000 di Saham Tesla Bisa Bikin Kaya
Saham, Strategi, dan Masa Depan Teknologi Amerika
Investasi pemerintah AS di Intel bukan sekadar transaksi finansial. Ini adalah:
-
Pernyataan politik tentang kemandirian teknologi.
-
Strategi industri untuk memperkuat manufaktur chip domestik.
-
Langkah geopolitik untuk menghadapi dominasi Asia di pasar semikonduktor.
Bagi investor dan pemerhati teknologi, kesepakatan ini adalah pengingat bahwa pasar tidak selalu bergerak sendiri. Terkadang, tangan negara ikut membentuk arah. Dan ketika itu terjadi, dampaknya bisa melampaui harga saham hingga menyentuh fondasi industri dan keamanan nasional Amerika Serikat.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(ipeps)