Foto: Unsplash
Teknologi.id - TikTok
kembali menghadapi gugatan hukum. Pada 1 Juli 2022, Pengadilan Tinggi Los
Angeles menerima gugatan terhadap aplikasi video itu dari keluarga
yang dua anaknya meninggal akibat mengikuti tren viral di TikTok pada
tahun lalu. Tren tersebut adalah Blackout Challenge, ketika
orang-orang ditantang untuk menahan napas sampai pingsan karena
kekurangan oksigen dan tak jarang meninggal dunia.
Keluarga itu adalah orang tua dari Lalani Erika Walton (8) dan Arriani Jallen Arroyo (9). Keduanya meninggal pada 2021 usai mengikuti Blackout Challenge. Pihak keluarga tidak sendirian dan diwakili oleh Social Media Victims Law Center (SMVLC), organisasi yang menaungi anak-anak kecanduan dan penyalahgunaan media sosial. Argumennya, mengutip The Guardian, TikTok telah secara sengaja membiarkan algoritma berbahaya selalu muncul yang membuat keselamatan anak-anak terancam.
Baca juga: Cara Menghilangkan Watermark TikTok Tanpa Aplikasi
Melansir New York Times, SMVLC
menyebut bahwa TikTok seharusnya mengetahui bahwa produknya adiktif. Maksudnya,
menimbulkan kecanduan. Organisasi itu juga menuduh TikTok secara sengaja melalui algoritmanya untuk mengarahkan
anak-anak ke konten berbahaya. Lebih dari itu, TikTok gagal mengambil tindakan signifikan untuk
menghentikan atau minimal memperingatkan anak-anak dan orang tua terkait videp itu.
Mulai dari algoritmanya yang kacau karena mempromosikan konten berbahaya, mengizinkan pengguna di bawah umur mengakses aplikasi, dan gagal memperingatkan pengguna atau wali hukum mereka tentang
sifat adiktif aplikasi.
Apalagi tren tersebut sesungguhnya bukan hal baru. Setidaknya sejak
tahun 1995, banyak media Amerika Serikat yang melaporkan bahwa terdapat
anak yang meninggal akibat tren tersebut. Dalam laporan Pusat Pengendalian
dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat atau Central for Disease Control
(CDC) (2008), Blackout Challenge selalu membawa korban jiwa
setiap tahunnya.
Sayangnya
tidak ada intervensi lebih lanjut untuk menghapus tren tersebut di masyarakat.
Penggunaan media sosial yang semakin masif tentu membuat eksistensi Blackout
Challenge tak pernah hilang.
Bukan
kali pertama
Gugatan
hukum ini sebetulnya bukan yang pertama bagi aplikasi asal Tiongkok itu. Dalam
kurun waktu satu terakhir saja, TikTok setidaknya sudah tiga kali digugat
karena alasan serupa: membiarkan anak-anak dalam posisi berbahaya.
Mengutip
majalah kesehatan Womens Health, pada Mei 2022, seorang ibu
dari Nylah Anderson (10) menggugat aplikasi populer itu karena menyebabkan
kematian anaknya. Bagi sang ibu, TikTok telah memprogram anak-anak dan
mempromosikan kecanduan demi keuntungan perusahaan semata. Tambahnya,
"TikTok menjadi aplikasi pemangsa dan manipuatif yang mendorong hal
berbahaya dan tidak dapat diterima."
Kasus ini bermula ketika Nylah pada bulan desember ditemukan tidak bernyawa akibat gantung diri di lemarinya. Saat ditemukan, posisi Nylah bersama gadget yang menunjukkan bahwa dia sedang menonton Blackout Challenge di TikTok. Kemungkinan besar, Nylah meninggal akibat mengikuti tren tersebut.
Baca juga: Cara Dapat Uang dari Tiktok yang Mudah Dilakukan Pemula
Anggota American Academy of Pediatric Council on Injury, Violence, and Poison Prevention, dr. Louis Lee, menyebut bahwa TikTok sesungguhnya tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Kepada New York Times, Tiktok, dan media sosial lain, sesungguhnya hanya mempromosikan konten berdasarkan preferensi atau kegemaran pengguna. Jadi, ketika pengguna banyak mencari suatu tren atau informasi, maka TikTok melalui algoritmanya akan terus-menerus memberikan tayangan sesuai kegemaran.
Hal terpenting adalah peran orang tua dalam mengawasi anak ketika memegang gadget. Anak-anak mungkin tidak mengerti dampak dari suatu tren. Maka itu, kekosongan pengetahuan ini harus diisi oleh orang tua terkait bahaya besar bermain media sosial. Salah satu caranya, menurut Lee, adalah dengan memantau dan membatasi penggunaan media sosial.
(mf)