Trump Rencanakan Perubahan Besar Kebijakan AI, Ini Risiko yang Mengancam

Elysa Magrisia Herdiani . November 25, 2024

Kebijakan Trump

Teknologi.id - Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, sedang mempersiapkan langkah besar dalam merombak kebijakan terkait teknologi kecerdasan buatan (AI). Dalam langkah strategis ini, Trump menggandeng Elon Musk, pemilik media sosial X, yang juga merupakan kritikus regulasi pemerintah, untuk memimpin reformasi besar-besaran di sektor AI. Perubahan kebijakan ini dapat memengaruhi berbagai aspek terkait regulasi dan pengembangan teknologi AI di Amerika Serikat, yang berpotensi membawa dampak besar bagi masa depan inovasi teknologi di negara tersebut.

Baca juga: Donald Trump Berencana Cabut Larangan TikTok di Amerika Serikat pada 2025

Perubahan Kebijakan AI yang Direncanakan Trump

Donald Trump berencana untuk mengubah kebijakan AI yang telah diterapkan oleh pemerintahan Joe Biden. Salah satu langkah pertama yang direncanakan adalah mencabut perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Biden mengenai pengelolaan risiko keamanan nasional terkait AI dan pencegahan diskriminasi dalam sistem AI. Dalam dokumen Partai Republik, aturan yang diterapkan oleh Biden disebut sebagai "ide radikal sayap kiri" yang dianggap menghambat inovasi teknologi. Trump dan timnya percaya bahwa langkah-langkah tersebut terlalu membatasi potensi pengembangan kecerdasan buatan yang dianggap dapat mendorong kemajuan ekonomi dan teknologi di Amerika Serikat.

Namun, penghapusan regulasi ini membawa risiko yang signifikan, terutama terkait dengan pengawasan dan potensi penyalahgunaan teknologi AI. Para ahli teknologi memperingatkan bahwa tanpa pengawasan yang ketat, AI dapat berkembang dengan cara yang sangat berbahaya.

Risiko Diskriminasi dan Bias dalam AI

Salah satu risiko terbesar yang terkait dengan kecerdasan buatan adalah kemungkinan diskriminasi yang dihasilkan dari penggunaan AI yang tidak terkendali. Sandra Wachter, seorang profesor di Oxford Internet Institute, menjelaskan bahwa teknologi AI sering kali mereplikasi bias manusia, seperti prasangka terhadap ras atau gender, karena dilatih menggunakan data historis. Sistem AI yang digunakan dalam berbagai sektor, seperti perekrutan tenaga kerja dan pemberian kredit, berpotensi memperkuat bias-bias tersebut, yang akhirnya merugikan kelompok tertentu dalam masyarakat.

AI yang dilatih dengan data historis dapat mengidentifikasi pola-pola masa lalu yang mengandung bias, seperti siapa yang pernah dipekerjakan atau siapa yang pernah dipenjara. Hal ini berisiko memperburuk ketidakadilan sosial dan menciptakan ketimpangan dalam keputusan penting yang diambil oleh sistem berbasis AI.

Andrew Strait dari Ada Lovelace Institute juga memperingatkan bahwa penggunaan AI dalam kepolisian prediktif berisiko memperburuk ketidakadilan sosial. Data historis yang mencerminkan praktik over-policing atau penegakan hukum yang berlebihan terhadap komunitas tertentu bisa memperburuk stereotip dan meningkatkan perhatian terhadap komunitas-komunitas yang sudah rentan. Ini dapat menciptakan lingkaran setan ketidakadilan yang sulit diatasi.

Ancaman Disinformasi dan Serangan Siber

Selain risiko diskriminasi, penggunaan AI yang tidak terkendali juga berpotensi memicu penyebaran disinformasi yang masif. AI kini dapat digunakan untuk membuat konten palsu dengan kualitas yang hampir tidak bisa dibedakan dari kenyataan. Salah satu contoh nyata adalah penyebaran gambar palsu dan rekaman suara tiruan presiden dalam pemilu AS, yang menunjukkan potensi AI dalam menciptakan disinformasi yang bisa mengancam integritas proses demokrasi.

Kemampuan AI untuk menciptakan informasi palsu tidak hanya terbatas pada gambar dan video, tetapi juga pada suara dan teks. Dalam pemilu yang semakin bergantung pada media sosial, ancaman disinformasi AI menjadi sangat besar, karena sulit bagi masyarakat untuk membedakan antara informasi yang benar dan palsu.

Selain disinformasi, AI juga bisa digunakan untuk serangan siber yang lebih canggih. Dengan kemampuan otomatisasi yang dimilikinya, AI dapat digunakan untuk meretas sistem dengan lebih cepat dan lebih efisien. Bahkan, beberapa ahli, seperti Manoj Chaudhary dari Jitterbit, memperingatkan bahwa AI dapat digunakan untuk menciptakan senjata otonom yang dapat menyebabkan kerusakan yang lebih besar dan lebih luas. Ini menunjukkan bahwa AI bukan hanya ancaman untuk sektor-sektor tertentu, tetapi juga bagi keselamatan dan stabilitas global.

Potensi Ancaman Eksistensial

Sebuah laporan dari Departemen Luar Negeri AS menyebutkan bahwa AI berpotensi menjadi ancaman eksistensial bagi umat manusia. Teknologi ini dapat mengarah pada serangan dunia maya yang dapat melumpuhkan infrastruktur penting atau merusak sistem yang mendukung kehidupan sehari-hari. Jika AI berkembang tanpa pengawasan yang memadai, potensi kerusakannya akan semakin besar, yang mengarah pada ancaman yang lebih nyata terhadap keamanan global.

Baca juga: Grok AI Ungkap Elon Musk Sebagai Penyebar Misinformasi Terbesar di X

Peran Elon Musk dalam Reformasi Kebijakan AI

Elon Musk, yang telah lama memperingatkan tentang potensi bahaya AI, diperkirakan akan memainkan peran penting dalam merumuskan kebijakan baru yang lebih ketat terkait teknologi ini. Musk, yang kini memimpin perusahaan xAI, telah memperingatkan bahwa AI yang tak terkendali dapat menjadi ancaman eksistensial bagi manusia. Dalam pemerintahan Trump, Musk kemungkinan besar akan mendorong regulasi yang lebih ketat untuk mengawasi perkembangan AI.

Namun, di sisi lain, beberapa pihak di lingkaran Trump, seperti wakil presiden terpilih JD Vance, menyatakan bahwa regulasi yang terlalu ketat dapat menghambat inovasi dan memperkuat dominasi perusahaan teknologi besar seperti Tesla. Hal ini menunjukkan bahwa masa depan kebijakan AI di Amerika Serikat masih sangat dipengaruhi oleh perdebatan yang ada mengenai keseimbangan antara inovasi dan pengawasan.

Masa depan kebijakan AI di bawah pemerintahan Trump menjadi sangat penting untuk diperhatikan, karena perubahan kebijakan ini akan mempengaruhi cara teknologi AI berkembang di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Meskipun ada potensi untuk mendorong inovasi, risiko-risiko yang terkait dengan diskriminasi, disinformasi, serangan siber, dan ancaman eksistensial harus menjadi perhatian serius. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa pengawasan dan regulasi yang tepat tetap ada untuk memitigasi bahaya yang mungkin muncul dari perkembangan kecerdasan buatan yang tidak terkendali.

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News

(emh)

Share :