Deepfake Pornografi di Korea Selatan: Sebuah Ancaman Baru
Teknologi.id - Skandal deepfake pornografi di Korea Selatan baru-baru ini
menggemparkan publik. Ribuan foto pelajar, sebagian besar perempuan, telah
disalahgunakan untuk membuat konten pornografi palsu yang disebarkan secara
luas melalui aplikasi pesan instan seperti Telegram. Dalam kasus yang semakin
marak ini, wajah para korban dipadukan dengan tubuh orang lain menggunakan
teknologi kecerdasan buatan (AI), menciptakan gambar yang eksplisit dan sangat
meresahkan.
Ko Narin, seorang jurnalis Korea Selatan, adalah salah satu yang pertama kali mengangkat kasus ini. Dalam laporannya, ia menemukan bahwa ratusan grup obrolan di Telegram digunakan untuk mendistribusikan gambar-gambar deepfake ini. Setiap menit, pengguna grup tersebut mengunggah foto teman, kerabat, atau bahkan siswa SMA yang mereka kenal, meminta agar gambar tersebut diubah menjadi konten porno menggunakan teknologi AI. "Saya sangat terkejut melihat betapa terorganisirnya semua ini," ujar Ko.
Baca juga: Korea Selatan Darurat Pornografi Deepfake Melalui Aplikasi Telegram
Dampak Psikologis pada Korban
Salah satu korban, Heejin (bukan nama sebenarnya),
menceritakan pengalaman pahitnya setelah mengetahui bahwa foto-foto pribadinya
telah digunakan dalam konten deepfake. "Saya merasa benar-benar terisolasi
dan ketakutan," kata Heejin. Seperti Heejin, banyak korban lainnya
mengalami kecemasan parah dan bahkan trauma. Mereka khawatir akan dampak jangka
panjang yang mungkin timbul, terutama jika konten tersebut telah menyebar luas
tanpa bisa dikendalikan lagi.
Sejumlah korban merasa bersalah, bertanya-tanya apakah
mereka seharusnya lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Namun,
kenyataannya, penyalahgunaan ini terjadi bukan karena kesalahan mereka,
melainkan karena kejahatan yang dilakukan oleh pihak lain. Banyak perempuan di
Korea Selatan sekarang memilih untuk menghapus foto-foto mereka dari media
sosial atau menonaktifkan akun mereka karena takut menjadi target berikutnya.
Peran Telegram dalam Skandal Ini
Telegram, sebagai platform yang memungkinkan anonimitas dan
enkripsi pesan, menjadi pilihan utama para pelaku kejahatan ini. Keamanan dan
privasi yang ditawarkan oleh aplikasi ini membuatnya sulit untuk diakses oleh
otoritas, sehingga konten yang melanggar hukum bisa bertahan lebih lama sebelum
akhirnya dihapus. Bahkan setelah laporan Ko diterbitkan, banyak grup obrolan
tersebut tetap aktif, meskipun beberapa di antaranya sudah mulai ditutup.
Aplikasi ini berbeda dengan situs publik lain yang lebih mudah dipantau oleh pihak berwenang. Anonimitas penggunanya dan kemampuan untuk menghapus pesan tanpa jejak membuat Telegram menjadi sarana ideal bagi para pelaku kejahatan seksual online. Meskipun demikian, Telegram telah mengklaim dalam pernyataan resminya bahwa mereka "secara proaktif memonitor ranah publik dari aplikasi tersebut dan menggunakan AI untuk menghapus konten yang melanggar."
Tanggapan Pemerintah dan Organisasi Perempuan
Pemerintah Korea Selatan telah berjanji untuk memperkuat
tindakan hukum terhadap pelaku kejahatan deepfake ini. Polisi mulai menyelidiki
kasus ini secara lebih intensif, bahkan mempertimbangkan untuk memeriksa lebih
dalam peran Telegram dalam penyebaran konten ini. Namun, banyak aktivis
perempuan merasa bahwa tindakan ini terlambat dan tidak cukup. Mereka
mengkritik pemerintah yang dianggap lambat dalam menanggapi masalah ini,
terutama mengingat sejarah panjang Korea Selatan dalam menghadapi krisis pornografi
digital.
Park Jihyun, mantan mahasiswa jurnalistik yang telah menjadi advokat politik untuk korban kejahatan seks digital, mengatakan bahwa banyak murid dan orang tua menghubunginya dengan ketakutan setelah mengetahui sekolah mereka masuk dalam daftar target deepfake. Organisasi seperti ACOSAV (Advocacy Center for Online Sexual Assault Victims) juga mencatat lonjakan laporan dari korban, terutama remaja. Mereka menyebut situasi ini sebagai "darurat berskala besar," mirip dengan situasi perang.
Baca juga: Deepfake Penipuan Berbasis AI Bikin Resah, Kominfo Bilang Begini
Upaya untuk Menghentikan Penyebaran Konten Deepfake
Selain mendampingi korban, organisasi seperti ACOSAV bekerja
sama dengan platform online untuk melacak dan menghapus konten berbahaya.
Namun, pekerjaan ini tidak mudah, mengingat volume konten yang terus meningkat
dan sifat anonimitas dari para pelaku. Park Seonghye, salah satu petinggi
ACOSAV, mengatakan bahwa meskipun Telegram terkadang merespons permintaan
penghapusan konten, namun langkah ini tidak cukup untuk mencegah munculnya
grup-grup baru yang menggantikan yang telah ditutup.
Pemerintah Korea Selatan kini berusaha memperkuat pendidikan bagi anak-anak muda mengenai bahaya deepfake dan kekerasan seksual digital. Mereka berharap, melalui pendidikan dan penindakan hukum yang lebih tegas, kasus-kasus seperti ini dapat diminimalisir di masa mendatang.
Skandal deepfake pornografi di Korea Selatan ini menunjukkan
betapa canggihnya teknologi bisa disalahgunakan untuk kejahatan seksual.
Sementara pemerintah dan organisasi terkait berusaha mengatasi masalah ini,
para korban dan masyarakat harus tetap waspada. Melalui tindakan bersama, baik
dalam hal hukum maupun pendidikan, diharapkan kasus-kasus serupa tidak akan
terulang.
Pelajari lebih lanjut tentang bagaimana Anda bisa melindungi diri dari kejahatan digital seperti deepfake dan pastikan untuk melaporkan setiap pelanggaran yang Anda temui di platform online. Klik disini untuk berita deepfake lainnya.
Baca Berita dan Artikel lain di Google News.
(emh)