Boeing Ciptakan Jet Tempur 'Ghost Bat' yang Dipiloti AI

Muhammad Haris Aminan . September 25, 2024

AI boeing

Foto: CNET

Teknologi.id - Dinamika perkembangan AI semakin masif dengan memasuki ranah pertahanan dan keamanan. Pemanfaatan AI saat ini bukan hanya dalam aktivitas sehari-hari melainkan kini sudah memasuki area kritis seperti sektor peperangan. Hal ini dibuktikan dengan pihak Boeing yang tengah mengembangkan pesawat tempur nirawak canggih bernama ‘MQ-28 Ghost Bat’ yang dipiloti oleh kecerdasan buatan (AI). Pesawat tempur ini dirancang untuk menjadi "pembunuh udara" tanpa campur tangan manusia, yang memicu kontroversi besar terkait keselamatan, keamanan nasional, dan moralitas. Boeing mengusulkan produksi massal armada Ghost Bat dengan jumlah ribuan unit yang akan digunakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Australia. Namun, rencana ambisius ini mendapat banyak sorotan karena potensi ancaman terhadap keselamatan publik dan pemanfaatan dana pajak yang dipertanyakan.

Menurut laporan Daily Mail, Ghost Bat dilengkapi dengan kapasitas muatan sebesar 53 kaki kubik di bagian hidungnya, memungkinkan pesawat ini membawa berbagai jenis senjata mematikan, termasuk bom, amunisi konvensional, hingga senjata nuklir taktis. Saat ini, Boeing telah memproduksi dan menguji tiga prototipe Ghost Bat. Angkatan Udara Kerajaan Australia (RAAF) merupakan salah satu pengguna pertama yang telah menginvestasikan lebih dari USD500 juta untuk mendapatkan tiga unit tambahan dan membangun infrastruktur manufaktur di dalam negeri untuk memperluas produksinya. Setidaknya satu unit juga telah dikirim ke AS untuk diuji coba dan diintegrasikan lebih lanjut.

Prototipe Ghost Bat yang ada memiliki panjang sekitar 11,5 meter dan mampu menempuh jarak terbang lebih dari 2.300 mil (3.701 km). Pesawat ini dapat beroperasi secara mandiri berkat teknologi AI yang canggih, namun harganya yang mencapai sekitar USD30 juta per unit membuat Pentagon mempertimbangkan penawaran dari perusahaan lain untuk varian final yang dijadwalkan siap hingga 2029 dan seterusnya.

Foto: Medium

Kekhawatiran terhadap proyek ini tidak hanya terletak pada kecanggihan teknologinya, tetapi juga pada rekam jejak Boeing yang dianggap tidak selalu positif. Berbagai skandal yang melibatkan perusahaan tersebut dalam beberapa tahun terakhir, termasuk masalah penerbangan antariksa dan insiden dengan pesawat komersial, telah merusak reputasinya. Steven Feldstein, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, menyoroti bahwa Boeing sering kali mengalami kegagalan dalam mengadopsi teknologi mutakhir. Ia menyebut bahwa rekam jejak Boeing dalam menangani teknologi baru belum cukup kuat untuk membuktikan bahwa perusahaan ini siap menghadapi tantangan yang lebih besar dalam menciptakan pesawat tempur AI.

Di sisi lain, penggunaan AI dalam jet tempur ini juga memicu perdebatan moral. Kritikus berpendapat bahwa AI tidak memiliki pertimbangan manusia dalam pengambilan keputusan yang dapat berujung pada hilangnya nyawa. Mary Wareham, direktur advokasi divisi persenjataan di Human Rights Watch, menyatakan bahwa teknologi ini melangkahi batas moral dengan menyerahkan keputusan kritis kepada mesin. Menurutnya, membiarkan sensor komputer menggantikan peran manusia dalam keputusan hidup dan mati adalah langkah yang berbahaya.

Baca juga: McEasy: Manfaatkan AI Untuk Meminimalisir Kecelakaan Lewat TrackVision

Contoh penggunaan AI dalam konflik juga terlihat pada situasi di Gaza, di mana sistem AI Israel, Lavender, dilaporkan terlibat dalam serangan yang menewaskan puluhan warga sipil tak bersalah untuk setiap satu tersangka militan. Feldstein menyamakan risiko penggunaan AI dalam peperangan dengan bahaya menempatkan mobil tanpa pengemudi di jalan tanpa pengawasan yang memadai. Ia menekankan bahwa tanpa data yang jelas dan terverifikasi tentang tingkat keberhasilan dan keamanan AI, pengaplikasian teknologi ini dalam konteks peperangan sangatlah berisiko.

Meskipun penggunaan AI dalam peperangan diprediksi akan semakin meluas, terutama dengan perkembangan yang dilakukan oleh negara-negara seperti China dan Rusia, Feldstein berharap ada norma-norma internasional yang dapat mengatur penggunaannya. Ia menekankan pentingnya penerapan standar etis dan regulasi yang ketat, mirip dengan kesepakatan internasional mengenai senjata nuklir dan kimia pada era Perang Dingin. Menurutnya, meskipun negara-negara tersebut adalah pesaing, ada kepentingan bersama untuk mencegah situasi yang tak terkendali dan berpotensi merusak dengan mempromosikan norma dasar dalam penggunaan teknologi AI. Feldstein optimis bahwa meskipun ada persaingan intens dengan negara-negara seperti China atau Rusia, peraturan internasional mengenai senjata AI masih mungkin untuk diwujudkan.

Baca berita dan artikel lain di Google News

(mha)


Share :