Diblokir Besok, Ini 6 Masalah Krusial Terkait HAM pada Aturan PSE Kominfo

Foto: DItjen Aptika

Teknologi.id - Masa tenggang 5 hari kerja yang diberlakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (kominfo) untuk Penyelenggara Sistem elektronik lingkup privat baik domestik maupun asing akan berakhir besok. 

Peraturan mengenai PSE itu sendiri telah tertulis dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 10 Tahun 2021 mengenai perubahan atas Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat.

Menurut pengamatan Teknologi.id, masih ada beberapa situs populer di Indonesia yang belum mendaftarkan diri. Beberapa diantaranya adalah Linkedin, Waze, Wikipedia, Brainly, Trello, dan lainnya. Dalam kata lain, setelah masa tenggang ini berakhir, Kominfo akan segera mengambil tindak tegas untuk melakukan pemblokiran terhadap situs-situs tersebut. 

Baca juga: Ini Hal yang Akan Dilihat oleh Manusia Sebelum Meninggal Dunia

Akan tetapi, Koalisi SERIUS Revisi UU ITE menyatakan aturan mengenai PSE dari Kominfo ini dinilai memiliki enam masalah yang cukup berbahaya, terutama terkait hak asasi manusia (HAM). 

"Pendaftaran PSE merupakan langkah awal negara untuk mengatur platform sedemikian rupa di dalam cengkraman negara," dilansir dari keterangan resmi Koalisi SERIUS Revisi UU ITE, Selasa (26/7).

"Alih-alih memberikan platform digital keleluasaan untuk melakukan inovasi sebagaimana karakteristiknya, Pendaftaran PSE ini justru menakut-nakuti user platform dengan berbagai macam restriksi yang menyebabkan matinya kemampuan daya kreatif," ungkap Koalisi.

Untuk mengetahui lebih jelas berikut enam(6) masalah krusial dari peraturan PSE Kominfo berdasarkan statement  Koalisi SERIUS Revisi UU ITE.

1. Lingkup yang luas sehingga rentan “abuse of power”

Pada Pasal 21 ayat (1) Permenkominfo dijelaskan bahwa definisi 'pengawasan', sebagai dasar permintaan akses, yang sangat luas. Hal ini dinilai dapat menyebabkan kemungkinan untuk terjadi “abuse of power” atau penyalahgunaan wewenang oleh yang lebih tinggi.  

"Sayangnya, saat ini legislasi utama terkait perlindungan data pribadi yang komprehensif yakni RUU PDP belum disahkan,"

Jika nantinya, Otoritas PDP yang didirikan berdasarkan RUU PDP disematkan sebagai bagian dari K/L atau LPNK, otomatis Pemerintah akan mengawasi dirinya sendiri sehingga potensi abuse of power akan sangat tinggi," lanjutnya.

2. Minim pengawasan secara yuridis

Pada Permenkominfo 5/20 dijelaskan mengenai permintaan akses dari kementerian maupun badan penegak hukum dapat dilakukan tanpa diperlukannya surat dari pengadilan (Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 32).

"Surat penetapan pengadilan negeri hanya dibutuhkan untuk (1) akses terhadap 'sistem elektronik', kewajiban untuk mendapatkan surat penetapan dari pengadilan negeri hanya berlaku bagi tindak pidana dengan ancaman pidana 2-5 tahun (Pasal 33), dan (2) akses terhadap 'konten komunikasi' (pasal 36)."

3. Waktu yang sempit untuk memenuhi permintaan akses

Peraturan tenggat waktu Lima(5) hari kerja yang ditetapkan kominfo untuk PSE privat untuk mendaftarkan diri sebelum pemblokiran dianggap terlalu singkat sehingga membuat PSE tidak memiliki waktu yang cukup untuk menelaah kembali peraturan ini. (Pasal 27, 31, 37, 41, dan 42). 

"Jangka waktu yang sangat sempit ini tidak memberikan waktu yang cukup bagi PSE Privat untuk menganalisa secara seksama apakah permintaan akses tersebut sudah sesuai dengan peraturan UU," kata Koalisi.

4. Sanksi yang melanggar prinsip proporsionalitas

Aturan ada pasal 45 Permenkominfo ini juga PSE yang tidak mendaftar akan mendapatkan sanksi berupa teguran tertulis, penghentian sementara, pemutusan akses, dan/atau pencabutan tanda daftar PSE.

"Selain sanksi berupa penghentian sementara dan pemutusan akses merupakan sanksi yang disproporsional dan juga melanggar prinsip proporsionalitas (dalam syarat 3 tahap pembatasan HAM), Permenkominfo 5/2020 juga luput mengatur secara ketat apakah sanksi-sanksi administratif diterapkan secara berjenjang," kata Koalisi.

5. Tidak menerima mekanisme banding

Aturan pada Permenkominfo 5/2020 tidak membuka kesempatan bagi PSE Privat untuk melakukan banding atas permintaan akses yang masuk yang akan dilakukan oleh kementerian atau badan penegak hukum.
Selain itu, tak ada hak-hak subjek data khususnya terkait hak atas notifikasi ketika datanya diminta untuk diakses oleh Kementerian/Lembaga dan/atau aparat penegak hukum.

6. Potensi akses langsung ke sistem elektronik

Pasal 39 Permenkominfo memudahkan akses aparat penegak hukum terhadap 'sistem elektronik'.
Meskipun tetap harus membutuhkan surat penetapan pengadilan, peraturan tersebut dapat membuka potensi aparat untuk mendapat akses langsung yang tidak proporsional  terhadap situs-situs tersebut.

“Khususnya ketika membaca ketentuan Pasal 39 ayat (4) yang hanya mengatur mengenai opsi-opsi akses, tapi tidak secara eksplisit membatasi adanya akses langsung," jelas Koalisi.

"Akses langsung terhadap 'sistem elektronik' merupakan bentuk akses yang sangat intrusif karena memberikan akses tak terbatas kepada APH sehingga membuka potensi penyalahgunaan wewenang yang besar," lanjutnya.

Baca juga: Lewat Aturan PSE, Kominfo Jadi Bisa Intip Isi Chat WhatsApp?

Menanggapi hal ini,  Semuel Abrijani Pangerapan selaku Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kominfo menyatakan bahwa akses kementerian dan aparat ke data PSE diperlukan, terutama jika perusahaan terindikasi melakukan kejahatan.

"Bagaimana kalo kejahatan itu dilakukan oleh perusahaannya sendiri, Binomo contohnya dan DNA Robot," ungkapnya di kantor Kominfo, Selasa (19/7).

"Aparat harus bisa masuk ke sistemnya, karena secara sistem mereka melakukan kejahatannya," imbuhnya.

"Kalau terkait konten, kita sudah ada tata kelolanya. Mereka sudah tahu juga kok, kita enggak sembarangan, ada dialog," lanjut Semuel. 

(kssa)

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar