Teknologi.id - Indonesia kini berada di peringkat kedua dalam hal penurunan tanah terbesar di dunia setelah China yang berada di posisi pertama. Berdasarkan laporan dari jurnal Geophysical Research Letters, lima negara teratas dengan laju penurunan tanah tertinggi semuanya berasal dari Asia, menyoroti besarnya tantangan yang dihadapi wilayah ini dalam hal stabilitas permukaan tanah dan dampak terhadap kehidupan penduduknya.
China mengalami penurunan tanah seluas lebih dari 1.043 km², diikuti oleh Indonesia dengan 844 km², kemudian Iran dengan 791 km², India 672 km², dan Pakistan 374 km². Selain itu, dampak dari penurunan tanah ini dirasakan oleh jutaan penduduk, dengan India menjadi negara yang paling terdampak, yaitu lebih dari 633 juta orang, diikuti oleh China dengan 368 juta orang, Indonesia dengan 213 juta orang, Pakistan dengan 145 juta orang, dan Bangladesh dengan 137 juta orang yang terkena dampak langsung.
Menurut laporan dari World Economic Forum, hampir setengah dari kota-kota besar di China mengalami penurunan tanah, yang disebabkan terutama oleh pengambilan air tanah secara berlebihan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sekitar 45% dari 82 kota besar di China mengalami penurunan lebih dari 3 milimeter setiap tahunnya, dan dampaknya meluas hingga mencakup sekitar 29% populasi perkotaan. Diperkirakan, pada tahun 2120, sekitar 22% hingga 26% dari wilayah pesisir China bisa berada di bawah permukaan laut, berpotensi memperparah risiko banjir dan hilangnya wilayah daratan.
Baca juga: Indonesia Jadi Negara Paling Rentan Serangan Siber di Asia Tenggara
Dampak penurunan tanah ini sangat signifikan dan beragam, mencakup penyusutan luas daratan, gangguan pada pasokan air bersih, kerusakan pada infrastruktur, hingga memicu perpindahan penduduk. Di Indonesia, misalnya, pemerintah telah merencanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Pulau Kalimantan, sebagai langkah mitigasi menghadapi ancaman penurunan tanah dan potensi banjir di ibu kota saat ini.
Upaya untuk mencegah tenggelamnya kota-kota besar akibat penurunan tanah memerlukan tindakan yang komprehensif, termasuk evaluasi terhadap penggunaan air tanah serta penguatan ketahanan pada desain dan infrastruktur perkotaan. Penyedotan air tanah yang berlebihan adalah salah satu penyebab utama dari fenomena ini dan diperkirakan akan memengaruhi sekitar 19% populasi global pada tahun 2040. Seiring pertumbuhan kota yang cepat, kebutuhan air untuk rumah tangga dan industri juga meningkat. Ketika sumber daya air permukaan terbatas atau tercemar, air tanah sering kali menjadi sumber utama, namun pompa yang berlebihan menyebabkan akuifer terkuras dan permukaan tanah menjadi turun.
Selain itu, berat infrastruktur di atas tanah juga dapat memperburuk laju penurunan, terutama di wilayah dengan jenis tanah yang rentan. Ketika daerah perkotaan semakin padat dengan bangunan dan fasilitas, beban kumulatif pada tanah tersebut meningkatkan potensi penurunan permukaan tanah seiring waktu.
Tidak hanya itu, faktor alam seperti pergerakan tektonik dan aktivitas seismik juga berperan dalam mempercepat proses penurunan tanah, dengan pemadatan alami sedimen yang turut berkontribusi pada fenomena ini. Meskipun perubahan iklim bukan penyebab langsung penurunan tanah, dampaknya, seperti kenaikan permukaan laut, memperburuk risiko dengan menambah peluang banjir di dataran rendah pesisir.
Cuaca ekstrem juga dapat mempercepat erosi dan perpindahan sedimen, yang berkontribusi pada ketidakstabilan tanah, penurunan permukaan tanah, dan memungkinkan masuknya air di area yang terpengaruh. Dengan demikian, diperlukan pendekatan jangka panjang dan terpadu untuk mencegah dan mengurangi dampak dari penurunan tanah ini di masa depan.
Baca berita dan artikel lain di Google News
(mha)
Tinggalkan Komentar