Gugat Pemerintah! Remaja Australia Tolak Keras Larangan Bermedia Sosial

Yasmin Najla Alfarisi . December 03, 2025

Foto: Freepik

Teknologi.id - Remaja berusia 15 tahun menggugat pemerintah Australia untuk membatalkan kebijakan larangan penggunaan media sosial untuk anak berusia di bawah 16 tahun. Ia menekankan bahwa regulasi tersebut jstru dapat membuat internet menjadi lebih berbahaya bagi anak muda dan mudah lolos dengan segala cara.

Remaja tersebut bernama Noah Jones. Ia merupakan penggugat pada kasus pengadilan tinggi (High Court) berlawanan dengan Menteri Komunikasi Anika Wells dan Komisioner Keamanan Elektronik (eSafety), Julie Inman Grant. Peraturan yang akan dimulai 10 Desember tersebut, dirancang untuk memblokir akses bagi pengguna minor (<16 tahun) ke platform-platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Snapchat. Pemerintah menentang bahwa hal ini penting untuk dilakukan guna melindungi anak-anak dari konten berbahaya dan predator online.

Jones sangat tidak menyetujui kebijakan tersebut dan membantah kalau diblokirnya akses tersebut dapat membuat remaja lebih tertutup dan mendukung mereka untuk melakukan kegiatan online secara diam-diam, yang menurutnya jauh lebih beresiko dan bahaya.

"Kita seharusnya membuang sisi buruk dari media sosial, bukan aksesnya," ungkapnya. "Saat anak-anak melakukan sesuatu secara diam-diam, justru saat itulah dapat terjadi hal-hal berbahaya."

Jones juga memperkirakan larangan ini akan menciptakan 'social gap' di antara kelompok remaja yang bisa mengelak dari peraturan dan yang tidak bisa. Ia menekankan kalau kebijakan ini tidak realistis, karena banyak yang dapat menggunakan VPN, akun palsu, atau perangkat lain.

Ia mengatakan kalau keputusan tentang bagaimana anak-anak menggunakan media sosial seharusnya ada di tangan orang tuanya, bukan pemerintah. 

Gugatan Jones juga melibatkan murid berusia 15 tahun lainnya yang menyatakan kalau kebijakan ini melanggar hak konstitusi dan seharusnya digantikan dengan pendekatan yang lebih terarah, seperti tindakan khusus melawan perundungan siber dan sikap predator online

Kasus ini belum dijadwalkan untuk naik ke pengadilan, tetapi telah memicu debat nasional tentang batas otoritas negara dalam mengatur perilaku digital anak muda dan bagaimana untuk membuat internet yang aman tanpa menghilangkan akses mereka dari media sosial.

Baca juga: Malaysia Ikuti Jejak Australia, Larang Remaja di Bawah 16 Tahun Akses Medsos

Menggunakan Platform Sebagai Panggung 

Foto: Tangkapan layar TikTok @_heyitszoeyandmark

Selain Jones, terdapat remaja lain yang menyuarakan haknya, mereka yang menggunakan platform media sosial sebagai sumber pemasukan, koneksi, dan identitas diri.

Bagi kebanyakan remaja, larangan ini merupakan kemunduran profesional. Shar, anak berusia 15 tahun yang bercita-cita sebagai penyanyi membagikan pendapatnya melalui media sosial.

"Membutuhkan saya waktu yang sangat lama untuk mendapatkan 4.000 pengikut di akun utama saya.. dan saya akan kehilangan semua itu. Setiap orang yang mendengarkan musik saya - hilang."

Seperti kebanyakan kreator, ia mengajak pengikutnya untuk pindah ke Lemon8, aplikasi milik ByteDance yang tidak dilarang.

Influencer remaja, Zoey, dengan username TikTok @_heyitszoeyandmark yang memiliki 48.000 pengikut juga aktif melawan mandat tersebut. Ia menyebarkan petisi agar larangan media sosial disasarkan pada anak berusia 13 tahun saja. Ia bahkan berbagi masukan bagi anak di bawah 16 tahun bagaimana caranya untuk melewati sistem pendeteksi usia.

Saat petisinya sudah ditutup, terdapat lebih dari 43.000 orang yang menandatanganinya.

Baca juga: Australia Resmi Larang Remaja di Bawah 16 Tahun Gunakan Media Sosial: Apa Dampaknya?

Mereka yang Memilih Keluar

Namun, sebagian remaja malah menyambut 'istirahat' yang dipaksakan ini.

Murid kelas sembilan, Maxine Steel menghapus semua aplikasi media sosialnya tahun lalu karena sulit baginya untuk berhenti scrolling. Saat ini, ia sedang berada di kamp kepemimpinan yang melarang penggunaan handphone. Setelah satu minggu yang yang sulit, Maxine merasa lebih bebas ketika tidak terkoneksi.

"Sekarang kita sudah benar-benar terbiasa, semua orang melupakan media sosial, dan saya harus bilang, menurut saya ini lingkungan yang paling cerah dan hidup seumur hidup saya." 

Pandangan yang beragam ini menggarisbawahi dilema kebijakan.

Lucy Thomas, CEO dari Project Rockit, organisasi anti perundungan mengatakan, "Hubungan anak muda dengan platform ini sangat kompleks dan beragam. Walau beberapa dari mereka akan berkembang pesat tanpanya, yang lain sangat memanfaatkan media sosial sebagai cara mereka untuk tetap terhubung." Thomas memperingatkan kalau larangan ini dapat secara tidak sengaja mendorong anak-anak yang tertutup untuk menjadi "lebih berbahaya, dengan ruang yang kurang diatur" meskipun tujuan kebijakannya adalah untuk membuat mereka aman.


Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.


(yna/sa)


author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar