Teknologi.id - Setelah lebih dari 11 tahun beroperasi, Telegram, aplikasi pesan instan populer, akhirnya mencatatkan keuntungan pertamanya. Pencapaian ini diumumkan langsung oleh CEO Telegram, Pavel Durov, melalui akun media sosial X (dulu Twitter). Durov mengungkapkan bahwa pendapatan Telegram pada 2024 mencapai lebih dari 1 miliar dolar AS (sekitar Rp 16,2 triliun), angka yang tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 342 juta dolar AS (sekitar Rp 5,5 triliun).
Durov juga menambahkan bahwa Telegram kini memiliki cadangan kas lebih dari 500 juta dolar AS, belum termasuk aset kripto. "Kami sangat senang dengan pencapaian ini," ujar Durov dalam unggahannya.
Strategi Monetisasi yang Membawa Keuntungan
Telegram pertama kali diluncurkan pada 2013 dengan menawarkan layanan pesan instan gratis. Namun, sejak tiga tahun terakhir, perusahaan mulai mengimplementasikan strategi monetisasi. Salah satu langkah besar adalah peluncuran layanan berlangganan berbayar, Telegram Premium, pada 2022. Layanan ini memerlukan biaya langganan sekitar 4,99 dolar AS (Rp 80.782) per bulan, menawarkan berbagai fitur tambahan bagi penggunanya.
Pendapatan Telegram juga semakin meningkat berkat beberapa inisiatif monetisasi lainnya, seperti bagi hasil untuk kreator konten, langganan bisnis, dan pengenalan aplikasi mini. Durov mengatakan, "2024 adalah titik balik yang signifikan bagi Telegram. Untuk pertama kalinya, kami meraih keuntungan setelah tiga tahun melakukan monetisasi."
Jumlah pengguna Telegram Premium kini telah melonjak tiga kali lipat, dengan lebih dari 12 juta pengguna terdaftar.
Baca juga: Cara Backup Data Telegram Melalui Desktop
Pendapatan Iklan yang Meningkat
Selain itu, Telegram juga mendapat dorongan dari pendapatan iklan yang meningkat pesat. Meskipun Durov tidak mengungkapkan angka pasti terkait pendapatan iklan, hal ini tentu menjadi faktor penting dalam pencapaian keuangan Telegram. Di akhir 2024, Telegram juga berhasil melunasi utang sebesar 2 miliar dolar AS (sekitar Rp 32,37 triliun), langkah penting yang memperkuat posisi keuangan perusahaan.
Di Tengah Pengawasan Ketat
Meskipun meraih keuntungan, Telegram harus menghadapi pengawasan ketat dari beberapa negara. Pemerintah Perancis, misalnya, tengah menyelidiki aplikasi ini karena dianggap berperan dalam penyebaran misinformasi dan konten berbahaya, seperti pelecehan seksual anak. Bahkan, jaksa penuntut umum Perancis melarang Durov keluar dari negara tersebut pada Agustus 2024.
Selain Perancis, Telegram juga terlibat perselisihan dengan Uni Eropa, Rusia, dan Iran terkait konten ilegal yang beredar di platformnya. Aplikasi ini juga dikritik karena kurang responsif dalam menghapus konten yang melanggar hukum.
Namun, Telegram tetap berkomitmen untuk melawan misinformasi. Juru bicara Telegram, Devon Spurgeon, menjelaskan bahwa perusahaan berusaha memerangi misinformasi dengan menyediakan konten yang relevan bagi pengguna dan menawarkan sistem verifikasi untuk memastikan keaslian saluran. "Kami tidak menggunakan algoritma untuk mempromosikan konten sensasional," tambahnya.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(dwk)
Tinggalkan Komentar