
Foto: MalangHits.com
Teknologi.id – Peristiwa jatuhnya benda langit di wilayah perairan dekat Cirebon, Jawa Barat, telah ditetapkan sebagai salah satu kejadian astronomi paling signifikan sepanjang tahun 2025. Berdasarkan kompilasi data yang dirilis dalam ulasan tahunan otoritas terkait, fenomena yang terjadi pada hari Minggu, 5 Oktober 2025 ini, memberikan wawasan baru mengenai dinamika benda dekat Bumi (Near-Earth Objects) di wilayah ekuator. Peristiwa tersebut bermula dari munculnya kilatan cahaya masif di atmosfer yang kemudian diikuti oleh indikasi teknis berupa gelombang akustik dan getaran yang terekam oleh instrumen pemantau Bumi.
Kejadian ini menjadi perhatian serius setelah adanya sinkronisasi data antara pengamatan visual antariksa dengan deteksi sensor di darat. Pemerintah melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) segera melakukan investigasi untuk memetakan asal-usul, ukuran, dan dampak yang ditimbulkan oleh objek tersebut. Analisis ini sangat krusial untuk memastikan bahwa tidak ada ancaman berkelanjutan bagi infrastruktur publik maupun keamanan wilayah kedaulatan Indonesia.
Deteksi Sinkron Waktu dan Fenomena Gelombang Kejut
Secara teknis, peristiwa meteor ini memiliki dua catatan waktu krusial yang menjadi landasan analisis para ahli. Catatan pertama adalah waktu munculnya pijar api atau fase meteor yang terjadi pada pukul 18.35 WIB. Pada detik ini, objek tersebut sedang mengalami gesekan ekstrem dengan lapisan mesosfer Bumi, menciptakan suhu yang sangat tinggi hingga material batuan tersebut berpijar dan tampak sebagai bola api benderang.
Catatan kedua yang tidak kalah penting adalah waktu terdeteksinya getaran oleh sensor BMKG pada pukul 18.39 WIB. Selisih waktu sekitar empat menit antara penampakan visual dan deteksi getaran darat ini dijelaskan oleh para peneliti sebagai waktu tempuh rambatan suara atau gelombang kejut di udara. Fenomena ini membuktikan bahwa meteor tersebut bergerak dengan kecepatan supersonik yang menciptakan shockwave atau gelombang kejut masif saat memasuki lapisan atmosfer yang lebih padat. Getaran yang terekam oleh seismograf BMKG mengonfirmasi bahwa energi yang dilepaskan saat meteor tersebut pecah di udara cukup kuat untuk menggetarkan medium di permukaan bumi.

Foto: iStockphoto
Analisis Fisik Diameter dan Massa Objek Berdasarkan Data BRIN
Peneliti senior Pusat Riset Antariksa BRIN, Thomas Djamaluddin, memberikan estimasi dimensi objek berdasarkan besaran energi dan intensitas cahaya yang dihasilkan. Meteoroid tersebut diperkirakan memiliki diameter fisik berkisar antara 3 hingga 5 meter. Dalam skala astronomi, objek dengan ukuran ini memang tergolong kecil, namun dalam konteks atmosfer Bumi, objek sebesar ini membawa momentum yang luar biasa besar karena kecepatan orbitnya yang bisa mencapai puluhan kilometer per detik.
Mayoritas massa dari objek berdiameter 5 meter ini dipastikan tidak mencapai permukaan dalam bentuk utuh. Proses yang disebut sebagai ablas terjadi, di mana panas luar biasa akibat gesekan udara mengikis permukaan meteoroid hingga menguap. Tekanan udara yang sangat tinggi di bagian depan objek akhirnya menyebabkan batuan tersebut mengalami fragmentasi atau meledak di udara (airburst). Inilah alasan mengapa suara dentuman keras muncul tanpa adanya kawah benturan di daratan. Material sisa yang tidak habis terbakar akan berubah menjadi serpihan kecil yang jatuh dengan kecepatan terminal yang jauh lebih lambat.
Baca juga: Keajaiban Alam Akhir Tahun: Geminid, 'Hujan Meteor Terbaik' Siap Terangi Indonesia
Penentuan Titik Jatuh dan Koordinat Wilayah Laut Jawa
Salah satu pencapaian penting dalam investigasi ini adalah penentuan lokasi jatuhnya material sisa meteor. Melalui perhitungan lintasan dan triangulasi data sensor, otoritas menyimpulkan bahwa titik jatuh akhir meteor tersebut berada di perairan Laut Jawa, tepatnya di sebelah utara Cirebon dan Tegal. Lokasi ini secara geografis berada cukup dekat dengan garis pantai, yang menjelaskan mengapa efek suara dan getarannya terasa sangat intens di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Kepastian lokasi jatuh di laut ini menggugurkan berbagai spekulasi mengenai kerusakan darat. Secara ilmiah, Laut Jawa di bagian utara Cirebon memiliki kedalaman yang cukup untuk menampung sisa-sisa fragmen meteorit tanpa menimbulkan gangguan pada ekosistem laut atau jalur pelayaran. Penentuan lokasi jatuh ini juga membantu tim riset dalam memahami sudut masuk (entry angle) objek tersebut saat menembus lapisan pelindung Bumi.
Perspektif NASA Mengenai Pemantauan Benda Dekat Bumi (NEO)
Fenomena ini juga masuk dalam radar pemantauan global melalui data yang sering dirujuk dari NASA. Pihak NASA memberikan konteks bahwa objek berukuran 3 hingga 5 meter seperti yang jatuh di dekat Cirebon sering kali luput dari pemantauan teleskop luar angkasa saat masih berada di ruang hampa. Hal ini disebabkan oleh sifat batuan antariksa yang cenderung gelap dan tidak memantulkan cahaya matahari secara signifikan dibandingkan dengan ukuran asteroid yang lebih besar.
NASA menekankan bahwa kejadian di Indonesia pada Oktober 2025 ini merupakan pengingat penting bagi komunitas internasional mengenai Space Situational Awareness (Kesadaran Situasi Ruang Angkasa). Meskipun objek ini tidak membahayakan secara masal, data dari setiap kejadian jatuhnya meteor sangat berharga untuk menyempurnakan algoritma prediksi lintasan benda langit lainnya. NASA secara rutin mencatat kejadian semacam ini sebagai bagian dari katalog peristiwa bolide (meteor sangat terang) yang terjadi di atmosfer Bumi.
Klasifikasi Terminologi dan Karakteristik Material Antariksa
Artikel ini juga memperjelas klasifikasi ilmiah yang digunakan untuk menghindari kerancuan istilah. Objek tersebut diklasifikasikan sebagai Meteoroid saat masih berada di luar atmosfer. Begitu ia bergesekan dengan udara dan menghasilkan cahaya, ia menjadi Meteor. Dan jika ada material yang berhasil mencapai permukaan laut di utara Cirebon, material tersebut disebut sebagai Meteorit.
Dalam ulasan teknisnya, para ahli menduga meteor ini memiliki karakteristik yang mirip dengan meteorit Chondrite atau batuan luar angkasa yang kaya akan mineral silikat. Meskipun tidak ada pengambilan sampel langsung dari dasar laut, analisis terhadap gelombang suara dan getaran seismik memberikan petunjuk mengenai kepadatan objek tersebut. Kekuatan gelombang kejut mengindikasikan bahwa batuan ini memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi sehingga tidak langsung hancur di lapisan atmosfer atas, melainkan mampu bertahan hingga ke lapisan yang lebih rendah sebelum akhirnya pecah.
Baca juga: BRIN Ungkap Meteor Besar di Cirebon Tak Sebabkan Kebakaran, Ini Faktanya!
Pentingnya Mitigasi Antariksa di Indonesia
Sebagai penutup dari ulasan mendalam ini, peristiwa meteor Cirebon 5 Oktober 2025 menyoroti pentingnya integrasi antara teknologi pemantauan cuaca, seismik, dan astronomi di Indonesia. Koordinasi yang cepat antara BRIN dan BMKG terbukti mampu memberikan jawaban ilmiah kepada publik, mencegah penyebaran informasi yang salah terkait asal-usul suara dentuman dan getaran misterius yang dirasakan masyarakat. Fenomena ini menegaskan bahwa meskipun Indonesia berada di wilayah khatulistiwa, risiko jatuhnya benda langit tetap ada dan memerlukan pengawasan yang berkelanjutan. Data teknis yang terkumpul dari peristiwa ini kini menjadi bagian dari basis data nasional untuk pengembangan sistem peringatan dini di masa depan. Kejadian ini tidak hanya menjadi catatan sejarah astronomi, tetapi juga menjadi bahan studi penting bagi para peneliti dalam memahami bagaimana atmosfer Bumi berinteraksi dengan materi-materi purba dari sisa pembentukan tata surya.
Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News.
(WN/ZA)

Tinggalkan Komentar