Teknologi.id - Di tengah ketegangan geopolitik yang terus meningkat antara Amerika Serikat (AS) dan China, kedua negara baru-baru ini mencapai kesepakatan untuk memperbarui perjanjian kerja sama dalam bidang riset sains.
Perjanjian yang telah dimodernisasi ini mengatur bagaimana kedua negara akan berkolaborasi dalam penelitian sains dan teknologi, namun dengan sejumlah pembatasan yang lebih ketat dibandingkan dengan perjanjian sebelumnya.
Meski demikian, banyak pakar menyambut baik kesepakatan ini, menganggapnya sebagai langkah positif untuk mempertahankan kolaborasi ilmiah, meskipun dengan batasan-batasan yang lebih jelas.
Baca juga: AS Buat Regulasi Baru untuk Cegah China Kuasai Teknologi AI
Latar Belakang Perjanjian Sains AS-China
Perjanjian kerja sama antara AS dan China dalam bidang sains pertama kali dimulai pada tahun 1979. Pada saat itu, pakta ini menjadi simbol pemulihan hubungan diplomatik antara kedua negara yang terputus lama. Seiring berjalannya waktu, perjanjian ini diperbarui setiap lima tahun untuk menyesuaikan dengan perkembangan di bidang sains dan teknologi, serta dinamika hubungan antara kedua negara.
Namun, perjanjian yang baru saja diperbarui ini tidak mencakup ruang lingkup yang luas seperti sebelumnya. Meskipun kedua negara sepakat untuk melanjutkan kolaborasi dalam penelitian dasar, seperti cuaca, oseanografi, geologi, dan pengumpulan data virus, sektor-sektor teknologi kritis dan baru, seperti kecerdasan buatan (AI) dan semikonduktor, dikeluarkan dari kesepakatan ini. Langkah ini mencerminkan semakin ketatnya kontrol terhadap kolaborasi yang berpotensi berdampak pada keamanan nasional masing-masing negara.
Pembatasan dalam Kolaborasi Riset Sains
Perjanjian terbaru ini menandai perbedaan signifikan dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian sebelumnya. Salah satu pembaruan penting adalah penghilangan kolaborasi antara universitas dan perusahaan swasta dari kedua negara. Ini berarti bahwa meskipun ilmuwan dan peneliti dari AS dan China dapat bekerja sama dalam proyek-proyek ilmiah dasar, mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan kerja sama dengan entitas swasta yang terlibat dalam teknologi yang dapat mempengaruhi keamanan nasional.
Selain itu, perjanjian ini juga mengatur bahwa semua proyek penelitian yang melibatkan kedua negara harus terlebih dahulu disetujui oleh pemerintah AS. Departemen Luar Negeri AS, bersama dengan lembaga-lembaga terkait lainnya, akan menilai apakah proyek tersebut berpotensi menimbulkan risiko bagi keamanan nasional. Oleh karena itu, meskipun riset sains dasar masih dapat dilanjutkan, ada pengecekan lebih ketat untuk menghindari potensi penyalahgunaan teknologi yang sensitif.
Kolaborasi Sains dengan Syarat Ketat: Dampak terhadap Riset Internasional
Kesepakatan baru ini mencerminkan kesadaran akan pentingnya kerja sama ilmiah antara AS dan China, dua negara dengan kekuatan ilmiah terbesar di dunia. Namun, dengan adanya pembatasan yang lebih ketat, banyak pihak yang khawatir bahwa kolaborasi ini akan terbatas pada sektor-sektor yang kurang relevan dengan kemajuan teknologi canggih yang sedang berkembang.
Para ahli mengatakan bahwa meskipun perjanjian ini memberikan celah bagi penelitian di bidang-bidang seperti cuaca, oseanografi, dan geologi, itu tidak mencakup bidang yang berpotensi mengubah dinamika global, seperti pengembangan kecerdasan buatan dan teknologi semikonduktor. Keputusan untuk mengecualikan teknologi kritis ini dianggap sebagai langkah untuk mengurangi potensi risiko terkait dengan teknologi yang dapat digunakan untuk keperluan militer atau yang berhubungan dengan keamanan nasional.
Namun demikian, beberapa pihak berpendapat bahwa meskipun terbatas, kerja sama ini tetap penting. Caroline Wagner, seorang spesialis hubungan internasional di Ohio State University, menyatakan bahwa perjanjian ini menunjukkan pendekatan pragmatis di tengah persaingan geopolitik yang semakin intens. "Fokus yang sempit tampaknya tepat, mengingat status China yang kini merupakan kekuatan ilmiah dan ekonomi dunia," kata Wagner.
Perspektif Masa Depan Kolaborasi Sains AS-China
Bagi para peneliti dan ilmuwan, perjanjian ini memberikan harapan bahwa mereka dapat melanjutkan penelitian dasar tanpa harus khawatir tentang hambatan politik yang mungkin timbul. Duan Yibing, seorang peneliti kebijakan sains di Chinese Academy of Sciences, menyambut baik pembaruan pakta ini, berharap hal ini akan memfasilitasi kolaborasi yang lebih lancar di bidang penelitian dasar.
Namun, dengan pembatasan yang diberlakukan pada teknologi kritis dan sektor swasta, penting untuk memantau bagaimana kedua negara akan mengatur dan mengimplementasikan perjanjian ini dalam praktiknya. Sementara itu, para peneliti berharap agar lebih banyak proyek yang dapat dijalankan di bidang yang lebih aman dari segi risiko teknologi.
Baca juga: #TolakPPN12Persen Viral, Netizen Protes Kenaikan Pajak yang Mencekik
Perjanjian baru AS-China dalam bidang sains merupakan langkah maju dalam mempertahankan kolaborasi ilmiah antara dua kekuatan besar dunia, meskipun dengan syarat dan pembatasan yang lebih ketat. Meskipun fokus perjanjian ini lebih sempit dibandingkan dengan sebelumnya, dan tidak mencakup teknologi kritis yang dapat memengaruhi keamanan nasional, tetap ada harapan bahwa riset dasar akan terus berkembang. Ke depan, perjanjian ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk kolaborasi lebih lanjut, di tengah ketegangan geopolitik yang ada.
Namun, tantangan untuk menemukan keseimbangan antara kemajuan sains dan teknologi dengan perlindungan terhadap keamanan nasional akan terus menjadi topik yang perlu diperhatikan oleh kedua negara.
Baca Berita dan Artikel lain di Google News.
Tinggalkan Komentar