Teknologi.id - Harga aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia, Bitcoin, baru saja anjlok ke level terendah dalam 18 bulan terakhir pada perdagangan kripto pagi ini, Selasa (14/6).
Akibat anjloknya harga aset kripto dengan kapitalisasi raksasa tersebut, kapitalisasi pasar cryptocurrency global secara keseluruhan pun telah turun sekitar USD 1 triliun tahun ini, sementara hampir setiap koin teratas saat ini bernilai setengah atau bahkan kurang dari nilai tertingginya sepanjang masa.
Lantas, apa penyebab anjloknya harga aset kripto tersebut? Dikutip dari Bloomberg, penyebabnya adalah data inflasi Amerika Serikat pada Jumat (10/6/2022) yang menggegerkan pasar, tak terkecuali pada pasar kripto.
Psikologi pasar yang terdampak pun akhirnya membuat harga Bitcoin longsor 18 persen menjadi Rp 320 juta per keping koin dalam 24 jam terakhir berdasarkan data CoinMarketCap. Harga tersebut tercatat merupakan harga terendah Bitcoin dalam 18 bulan terakhir atau tepatnya sejak Desember 2020 lalu.
Dampak inflasi AS tersebut tak hanya mempengaruhi harga Bitcoin, harga aset kripto lainnya pun juga merosot karena aksi jual kripto yang berlanjut. Salah satunya Ethereum, yang merupakan aset kripto terbesar kedua setelah Bitcoin, harganya turun 20 persen ke level terendah sejak Januari 2021.
Baca juga: Mengenal Teknologi Blockchain Dalam NFT
Para ahli mengatakan penurunan harga kripto menunjukkan selera risiko investor yang menurun. Mereka jelas waspada terhadap aset berisiko. Dengan segala ketidakpastian dan volatilitasnya, kripto dianggap sebagai salah satu instrumen yang paling fluktuatif untuk tujuan investasi.
Co-Founder dan CEO platform investasi kripto Mudrex, Edul Patel mengatakan pasar kripto telah berada di bawah tekanan dari Federal Reserve, menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi selama beberapa bulan terakhir.
Inflasi AS sendiri sudah naik hingga 8,6 persen pada Mei tahun ini, tertinggi sejak Desember 1981. Angka ini melebihi prediksi ekonom bulan lalu yang menaksir inflasi mencapai 8,3 persen akibat tingginya harga makanan dan energi.
Kondisi ini juga mendorong bank sentral AS, The Fed untuk menerapkan kebijakan moneter yang lebih agresif. The Fed ditaksir akan menaikan suku bunga acuan setengah poin menjadi 1,5 persen, setelah pertemuan yang bakal digelar Rabu (15/6/2022).
Pada Mei lalu, The Fed juga sudah menaikan suku bunga setengah poin. Naiknya suku bunga ini dinilai mendorong sejumlah investor melakukan aksi jual kripto dengan mengalihkan kepemilikannya ke aset yang lebih jelas ketimbang kripto. Praktik tersebut menurut CoinMarketCap, telah memangkas lebih dari seperempat miliar dollar AS dari total nilai pasar kripto.
Baca juga: Mengenal Cryptocurrency, Untung atau Buntung?
Akibatnya, total kapitalisasi pasar kripto pada Selasa pagi ini tercatat bernilai di bawah 1 triliun dollar AS. Padahal pada November 2021, kapitalisasi pasar kripto mencapai 3 triliun dollar AS.
Para ahli juga memprediksi bahwa harga kripto akan anjlok lagi jika harga Ethereum terus susut hingga harga 1.200 dollar AS (Rp 17,7 juta).
"Jika Ethereum terus turun sampai 1.200 dollar AS, prospek altcoin lainnya jadi lebih suram," kata Antoni Trenchev, salah satu founder dan Managing Partner pinjaman kripto, Nexo.
Padahal data terbaru pagi ini, Selasa (14/6/2022), harga kripto Ethereum sudah mencapai 1.155 dollar AS dengan penurunan 15 persen dalam 24 jam terakhir.
Apakah ini berarti Crypto Winter sudah tiba? Crypto Winter sendiri sangat dikhawatirkan oleh para investor karena merupakan periode penurunan harga aset kripto yang berkepanjangan. Bagaimana menurut kalian? Apakah sudah saatnya terjadi Crypto Winter?
(dwk)
Tinggalkan Komentar