Pemerintah Panggil TikTok dan Meta soal Konten Palsu yang Picu Ricuh Demo DPR

Farrah Nur Fadhilah . August 27, 2025
Foto: Melihat Indonesia


Teknologi.id – Gelombang demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR pada Senin, 25 Agustus 2025, menyisakan catatan penting. Bukan hanya soal massa aksi yang turun ke jalan, tetapi juga maraknya konten palsu di media sosial yang diduga memperkeruh suasana hingga memicu kericuhan.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Angga Raka Prabowo menegaskan akan memanggil pihak TikTok dan Meta untuk dimintai penjelasan. Menurutnya, keberadaan konten palsu—atau dalam istilahnya disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK)—telah menjadi ancaman serius bagi demokrasi.

Alih-alih menjadi sarana menyampaikan aspirasi, media sosial justru dimanfaatkan untuk menyebarkan provokasi yang berujung konflik.

Baca juga: TikTok Rilis Fitur Campus Verification, Bikin Mahasiswa & Alumni Makin Terhubung

Konten Palsu Picu Kericuhan Demo

Kericuhan saat demo DPR pada 25 Agustus lalu tak lepas dari derasnya arus informasi menyesatkan di platform media sosial. Banyak konten yang beredar menggiring opini massa bahwa terjadi “aksi represif” dan “pengkhianatan rakyat” di lapangan, padahal faktanya berbeda.

“Fenomena disinformasi, fitnah, dan kebencian ini akhirnya merusak sendi demokrasi. Aspirasi yang seharusnya bisa disampaikan dengan baik menjadi bias karena digiring oleh konten palsu,” ujar Angga dalam keterangannya, Rabu (27/8/2025).

Ia menilai masyarakat yang sebenarnya ingin menyampaikan pendapat secara damai justru terprovokasi setelah terpapar informasi menyesatkan. Akibatnya, aksi yang semula damai berubah ricuh dan memicu gesekan antara massa dan aparat.

Wamenkomdigi Panggil TikTok hingga Meta

Untuk merespons kondisi ini, Komdigi berencana memanggil sejumlah platform besar, mulai dari TikTok hingga Meta (induk Facebook, Instagram, dan WhatsApp).

Angga mengaku sudah menghubungi langsung Helena, Head of TikTok Asia Pasifik, agar datang ke Jakarta. Selain itu, pihaknya juga telah menjalin komunikasi dengan TikTok Indonesia dan Meta Indonesia.

“Kami akan duduk bersama untuk membicarakan fenomena ini. Kami juga ingin tahu bagaimana kebijakan moderasi konten mereka selama ini,” kata Angga.

Selain TikTok dan Meta, Komdigi juga berencana memanggil platform media sosial X (dulu Twitter). Namun, rencana ini masih terkendala karena X tidak memiliki kantor resmi di Indonesia.

Tantangan Moderasi Konten di Era Digital

Fenomena kericuhan akibat konten palsu menyoroti masalah klasik: bagaimana media sosial memoderasi konten?

Menurut Angga, platform sekelas TikTok maupun Meta sebenarnya memiliki teknologi canggih untuk menyaring informasi. Namun, praktik di lapangan sering kali berbeda. Algoritma media sosial justru cenderung mendorong konten emosional, provokatif, dan sensasional agar lebih mudah viral.

“Seharusnya sistem mereka bisa mendeteksi mana konten asli, mana yang diproduksi oleh AI, dan mana yang mengandung fitnah. Kalau sudah jelas-jelas palsu, harusnya langsung bisa di-take down,” tegas Angga.

Batasan Moderasi dan Kebebasan Berekspresi

Salah satu isu yang sering muncul dalam diskusi moderasi konten adalah kekhawatiran membatasi kebebasan berekspresi. Namun, Angga menegaskan langkah take down konten palsu bukanlah bentuk pembungkaman pendapat.

“Tolong digarisbawahi, take down bukan untuk membungkam kebebasan berekspresi. Masyarakat tetap bisa menyampaikan aspirasi, tapi dalam koridor yang sehat, bukan dengan cara anarkis atau menghasut,” jelasnya.

Menurutnya, aspirasi publik justru bisa lebih kuat apabila didukung oleh data yang benar, bukan oleh kabar bohong.

Peran Media Sosial dalam Menjaga Demokrasi

Sebagai ruang publik digital, media sosial kini memegang peran penting dalam menjaga iklim demokrasi. Bukan hanya tempat berbagi informasi, tetapi juga arena pembentukan opini publik.

Namun, tanpa filterisasi ketat, ruang ini bisa dengan mudah dirusak oleh konten palsu, buzzer politik, maupun manipulasi informasi berbasis AI.

“Kami harap platform bisa lebih bertanggung jawab. Harus ada sistem otomatis yang bisa membedakan mana akun manusia asli, mana akun buzzer, dan mana konten berpotensi berbahaya,” tegas Angga.

Disinformasi di Era AI: Ancaman Baru

Fenomena lain yang dikhawatirkan adalah munculnya konten fabrikasi berbasis kecerdasan buatan (AI-generated content).

Dengan kemajuan teknologi, membuat foto, video, atau bahkan suara palsu kini semakin mudah. Konten semacam ini kerap viral karena sulit dibedakan dari yang asli.

Sayangnya, publik yang awam teknologi sering kali terjebak dan menganggapnya sebagai kebenaran. Hal ini tentu memperbesar risiko kerusuhan atau konflik sosial, seperti yang terjadi saat demo DPR.

Pemerintah Dorong Regulasi Lebih Ketat

Melihat perkembangan ini, Komdigi menilai perlu adanya regulasi yang lebih tegas terhadap perusahaan teknologi yang beroperasi di Indonesia. Platform dianggap wajib mematuhi hukum nasional, termasuk soal pengawasan konten.

“Mereka beroperasi di Indonesia, memakai infrastruktur kita, dan penggunanya masyarakat kita. Jadi wajar kalau mereka harus comply dengan aturan hukum Indonesia,” kata Angga.

Langkah pemanggilan TikTok dan Meta ini diharapkan bisa menjadi titik awal memperbaiki tata kelola konten digital di Indonesia.

Baca juga: TikTok Luncurkan Fitur AI Baru untuk Lindungi Kreator dari Komentar Negatif

Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat?

Selain tanggung jawab platform dan pemerintah, masyarakat juga punya peran penting dalam melawan konten palsu. Berikut langkah yang bisa dilakukan:

  • Verifikasi informasi – Periksa sumber sebelum menyebarkan.

  • Hindari terpancing emosi – Konten provokatif sering dibuat untuk memicu reaksi.

  • Laporkan konten mencurigakan – Gunakan fitur report di media sosial.

  • Tingkatkan literasi digital – Kenali tanda-tanda berita bohong atau hoaks.

Kasus ricuh demo DPR akibat konten palsu menjadi alarm keras bagi semua pihak. Pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat harus bersama-sama melawan disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK) agar demokrasi tetap sehat.

Langkah Wamenkomdigi memanggil TikTok dan Meta menunjukkan keseriusan pemerintah menjaga ruang digital Indonesia. Namun pada akhirnya, kesadaran kolektif dari seluruh pengguna media sosial lah yang akan menentukan: apakah ruang digital kita akan menjadi arena sehat bagi demokrasi atau justru medan subur bagi provokasi.

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.

(fnf)

Share :