Langkah dan Kendala Penerapan Smart City di Indonesia

Teknologi.id . February 09, 2018

Foto: Public Information Display.

Pemerintah saat ini tengah gencar dalam penerapan smart city di Indonesia. Sebut saja kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya yang sudah cukup lama menerapkan konsep kota cerdas. Seiring dengan itu, kota-kota lain pun turut mengikuti dan kini sedang dalam proses, seperti Batam, Banyuwangi, Bojonegoro serta Bali.

Namun, dalam proses penerapannya, terdapat sejumlah kendala yang mengakibatkan tersendatnya proses realisasi. Berikut beberapa kendala yang menghambat proses penerapan smart city di Indonesia, dilansir dari CNN Indonesia.

Investasi besar

Citiasia Center for Smart Nation menyebutkan total nilai investasi kota cerdas di seluruh Indonesia dapat mencapai US$ 400 miliar (sekitar Rp 5,4 triliun). Tentunya angka tersebut sangat besar bagi kota dan kabupaten yang ingin menerapkan kota cerdas sekaligus menggiurkan bagi yang ingin berinvestasi.

Dan bagi sektor industri teknologi Tanah Air, hal ini merupakan peluang besar karena pelaku smart city di Indonesia masih terbilang minim. Apalagi, pemerintah menargetkan akan ada 100 kota cerdas hingga 2019 nanti.

“Kalau seperti DKI kan mereka mengambil (dana)-nya lewat program CSR, tapi kalau di daerah lain mereka investasi sendiri, bangun sendiri. Misal bangun serat optiknya (fiber optic) dulu, lalu setahun kemudian bangun data center,” tutur Fanky Christian, Ketua Asosiasi Sistem Integrator dan Sekuriti Indonesia (ASISINDO), saat ditemui CNN Indonesia di bilangan Thamrin, Jakarta, Kamis (2/11).

Penyediaan infrastruktur bertahap

Fanky juga menjelaskan tahapan untuk membangun kota cerdas. Pertama adalah pembangunan infrastruktur dasar, yaitu penyediaan internet. Salah satunya lewat pembangunan jaringan kabel fiber optik.

Setelah infrastruktur dasar selesai, pembangunan pusat pengolahan data jadi fokus berikutnya. Rampung dengan pengolahan data selesai, pemerintah bisa melanjutkan pengembangan dengan memasukkan dan mengolah data kota yang didapat dari sensor, aplikasi, atau lainnya.

Untuk kasus Surabaya misalnya, pemerintah kota mengambil data lalu lintas dengan menempatkan CCTV yang bisa membaca kecepatan kendaraan. Sementara pemerintah Jakarta, mengumpulkan data keluhan masyarakat lewat aplikasi Qlue. Pengembangan lain bisa bermacam-macam tergantung kebutuhan pemerintah. Sensor pun dipasang disungai untuk memantau debit air guna peringatan banjir, misalnya.

Perangkat langka

Masalah lain yang menghambat implementasi adalah harga perangkat yang tinggi dan sulit diperoleh.

Penyedia solusi teknologi kota pintar didominasi pemain asing, sehingga perlu dana yang tak sedikit untuk membeli perangkat tersebut. Pemain lokal pun masih sangat sedikit yang sanggup bersaing.

“Mungkin impornya harus dikurangi karena teknologi ini masih belum ada di Indonesia dan dibutuhkan,” kata Baki Lee, Direktur PT. Global Expo Management, saat ditemui di tempat yang sama.

Share :