5 Daftar Startup Bangkrut di Indonesia

Bunga Melssa Maurelia . March 20, 2024
Startup bangkrut di Indonesia
Foto: Unsplash.com



Teknologi.id - Satu tahun terakhir telah menjadi saksi bisu gelobang startup bangkrut di Indonesia. Fenomena ini menggemparkan industri teknologi dan menimbulkan pertanyaan “Apa yang menyebabkan kejatuhan startup-startup ini?"

Sebenarnya, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi fenomena ini. Salah satu faktor utama yang umum terjadi adalah akses pendanaan yang ketat, terutama bagi startup tahap awal. Investor semakin berhati-hati dalam mengucurkan dana akibat kondisi ekonomi global yang tidak stabil.

Beberapa faktor lainnya yang mungkin terjadi, antara lain:

  • Model bisnis yang tidak berkelanjutan dan kurangnya fokus pada profitabilitas menjadi batu sandungan bagi banyak startup.
  • Persaingan yang ketat di berbagai sektor, terutama e-commerce dan ride-hailing, membuat banyak startup kesulitan untuk bertahan hidup.
  • Kurangnya pengalaman dan keahlian dalam mengelola perusahaan, terutama dalam hal keuangan dan strategi.
  • Pandemi Covid-19 telah memperburuk situasi dengan mengganggu rantai pasokan, menekan permintaan, dan meningkatkan ketidakpastian ekonomi.

Kebangkrutan startup tentu membawa dampak yang signifikan bagi berbagai pihak, salah satunya PHK. PHK massal terjadi di berbagai startup, mengakibatkan hilangnya pekerjaan dan mata pencaharian para karyawan.

Bahkan, tidak jarang banyak investor yang kehilangan kepercayaannya terhadap startup, sehingga menghambat ekosistem startup secara keseluruhan.

Daftar Startup Bangkrut di Indonesia

Di Indonesia, sedang marak startup yang berakhir gulung tikar meskipun telah beroperasi selama bertahun-tahun. Tentunya, setiap perusahaan memiliki latar belakang dan alasan tersendiri hingga tersingkir dari dunia industri. 5 startup bangkrut di Indonesia, di antaranya:

1. JD.ID (E-commerce)


JD.ID
Foto: Uzone.id


JD.ID, pernah menjadi pemain besar di ranah e-commerce Indonesia, resmi menutup layanannya pada Maret 2023. Ini menjadi pukulan telak bagi industri startup Tanah Air, mengingat JD.com merupakan raksasa e-commerce di China. 

Didirikan pada tahun 2015, JD.ID bercita-cita menjadi platform e-commerce terdepan di Indonesia. Mereka memiliki dukungan finansial kuat dari JD.com, beserta jaringan logistik dan rantai pasokan yang mapan.

Akan tetapi, JD.ID gagal beradaptasi dengan pasar Indonesia yang dinamis. Fokus mereka pada model bisnis ala China, yang menekankan barang elektronik dan bermerek, kurang sesuai dengan minat konsumen Indonesia yang lebih beragam. 

Kurangnya strategi marketing yang tepat untuk menjangkau pasar lokal menjadi faktor lain tutupnya JD.ID sebagai e-commerce di Indonesia.

2. Zenius (Edutech)


Foto: Zenius Education


Pelopor bimbel online ternama di Indonesia ini, mengejutkan publik dengan berita pemberhentian resminya pada awal tahun 2024. Meskipun belum bisa dikatakan bangkrut, pemberhentian sementara ini menimbulkan banyak pertanyaan. 

Zenius telah beroperasi sejak tahun 2004 dan menjadi platform bimbel terdepan di Indonesia selama 20 tahun. Mereka menawarkan berbagai materi pembelajaran untuk jenjang pendidikan dasar hingga persiapan ujian masuk perguruan tinggi. 

Zenius dikenal dengan metode pengajaran yang inovatif dan menarik, serta guru-guru berkualitas yang berpengalaman. Bimbel ini telah berdampak signifikan terhadap banyak sekali siswa di Indonesia, sehingga tidak jarang banyak orang yang sangat menyayangkan keputusan ini.

Pendiri Zenius, Sabda PS, mengatakan bahwa perusahaan mengalami tantangan operasional yang tidak bisa dirincikan lebih lanjut. Meskipun demikian, Zenius tidak akan berhenti berusaha untuk menjalankan visi mereka mencerdaskan Indonesia.

3. Qlapa (E-commerce)


Foto: Trentech.id


Marketplace yang didirikan pada 2015 dengan misi memberdayakan perajin lokal Indonesia ini, bernasib kurang mujur. Mereka harus menghentikan layanannya pada tahun 2020, menandai kegagalan mereka bertahan di ranah e-commerce yang kompetitif. 

Qlapa sempat menjadi wadah yang menjanjikan untuk produk-produk lokal dan bahkan mendapat penghargaan sebagai Aplikasi Unik Terbaik dari Google Play Awards di tahun 2018.

Hadirnya Tokopedia dan Shopee yang menawarkan beragam produk, termasuk kerajinan, membuat persaingan menjadi sangat ketat. Qlapa kesulitan bersaing dalam hal jangkauan pasar, promosi, dan variasi produk.

Beberapa faktor lainnya yang mendasari ditutupnya Qlapa, antara lain:

  • Model Bisnis Tidak Berkelanjutan: Qlapa mungkin belum menemukan model bisnis yang tepat untuk mencapai profitabilitas. Fokus pada produk kerajinan yang niche (khusus) dan belum memiliki basis pelanggan yang luas bisa membuat profitabilitas sulit diraih.
  • Kurangnya Pendanaan: Dunia startup membutuhkan pendanaan yang memadai untuk pengembangan dan pemasaran. Qlapa mungkin mengalami kesulitan mendapatkan pendanaan lanjutan, sehingga menghambat pertumbuhan mereka.

4. Pegipegi (OTA)


Foto: CNBC Indonesia


Pegipegi, nama yang tidak asing lagi bagi para traveler Indonesia, resmi menutup layanannya pada Desember 2023. Perusahaan yang berdiri sejak 2012 ini menjadi salah satu korban dari gelombang startup yang bangkrut di Indonesia. 

Diduga, penyebab Pegipegi harus mengakhiri kiprahnya di ranah travel online adalah persaingan yang semakin ketat semenjak kemunculan Traveloka dan Tiket.com. Pegipegi menawarkan produk yang serupa dengan dua perusahaan tersebut tanpa memiliki kelebihan yang signifikan. 

Pada tahun 2018. Pegipegi diakuisisi oleh Jet Tech Innovation Ventures dari Singapura. Akuisisi ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan Pegipegi, namun kenyataannya perusahaan ini tetap tertinggal dari para pesaing.

5. Fabelio (Furnitur)


Foto: Arsitag


Startup satu ini sempat menjadi primadona di bidang furnitur online. Akan tetapi, mereka dinyatakan pamit pada Oktober 2022 yang sekaligus menandakan berakhirnya sistem operasi Fabelio.

Awalnya, mereka menyediakan platform online untuk membeli furnitur custom dan ready-to-assemble (siap rakit) dengan desain menarik dan harga bersaing. Namun, model bisnis Fabelio diragukan keberlanjutannya.

Ini dikarenakan menjual furnitur dengan harga bersaing membutuhkan margin keuntungan yang tipis. Belum lagi biaya produksi, logistik, dan pemasaran yang tinggi dapat menyulitkan pencapaian profitabilitas.

Kebangkrutan setiap startup menjadi pelajaran berharga bagi para pelaku industri teknologi. Penting untuk membangun model bisnis yang berkelanjutan, fokus pada profitabilitas, dan memiliki tim manajemen yang berpengalaman dan kompeten.

Selain itu, diperlukan pendanaan yang memadai dan strategi yang tepat untuk menghadapi persaiangan yang ketat.

Baca Berita dan Artikel lain di Google News.

(bmm)

Share :