Teknologi.id –Jepang resmi mulai melepas air limbah radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima ke Samudera Pasifik. Pelepasan ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar Jepang, dari ranah lingkungan hingga politik.
Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) telah menerbitkan laporan resmi mengenai pelepasan ini, menyebutkan dampak kontaminasi berada di bawah ambang batas dan tidak perlu dikhawatirkan.
Namun demikian, masih banyak dari lapisan masyarakat, pakar lingkungan, hingga pemerintah mancanegara yang menentang tindakan tersebut. Misalnya saja, pemerintah Cina telah mengambil tindakan dengan menangguhkan impor produk bahari dari Jepang.
Apa saja upaya pemerintah Jepang dalam menangani situasi ini? Berikut kita bahas lebih dulu mengenai asal-muasal limbah radioaktif yang menjadi perbincangan.
Baca Juga: Mungkinkah Limbah Nuklir Diubah Menjadi Baterai dengan Berlian?
Ada apa dengan PLTN Fukushima?
Dua belas tahun lalu, tepatnya pada 11 Maret 2011, kawasan timur laut Jepang atau Tohoku diguncang gempa bumi dahsyat yang menyebabkan tsunami setinggi 10 meter.
Akibatnya terjadilah bencana nuklir Fukushima Daiichi, di mana tiga reaktor nuklir PLTN Fukushima I meleleh. Untuk mencegah bencana lebih lanjut, reaktor pun dibanjiri dengan air yang langsung saja terkontaminasi bahan radioaktif.
Pembangkit listrik ini kini sudah tidak beroperasi dan lahannya digadang-gadang akan dialihfungsi untuk membangun fasilitas baru. Namun reaktor-reaktornya masih perlu didinginkan, sehingga air limbah terus bertambah.
Lebih dari 1000 tangki yang menampung air limbah ini pun mulai kelebihan kapasitas, sehingga mau tak mau harus dilakukan pembuangan. Pemerintah Jepang mengambil tindakan dengan menerapkan sistem penyaringan kompleks yang akan menyaring sebagian besar isotop radioaktif dari air.
Sistem ini dikenal sebagai Advanced Liquid Processing System (ALPS). Lewat cara ini, mereka berhasil menyaring beberapa zat radioaktif yang paling berbahaya seperti Sesium-137 dan Stronsium-90.
Namun ada satu zat yang tidak bisa disaring, yaitu Tritium. Tritium merupakan isotop radioaktif hidrogen, sehingga sulit dipisahkan dari air karena hidrogen sendiri merupakan bagian dari air (H2O).
Pemerintah Jepang pun menyusun rencana ekstra, yaitu mengencerkan air limbah dengan air laut, sehingga kandungan Tritium per tetesnya lebih sedikit. Hasil pengenceran tersebut nantinya akan dialirkan lewat terowongan bawah laut, di lepas pantai Fukushima di Samudera Pasifik. Proses tersebut akan melarutkan air lebih jauh.
Seluruh rangkaian proses pembuangan ini akan dilakukan secara bertahap dan di bawah pengawasan ketat. Waktu yang diambil pun bisa mencapai berdekade lamanya.
Apa kata mereka yang mendukung?
Pemerintah Jepang menjamin bahwa, dibandingkan zat radioaktif lain, Tritium tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Karena merupakan bagian dari air, Tritium akan terlarut melalui organisme biologis lebih cepat. Waktu paruh peluruhannya pun jauh lebih cepat dibandingkan zat radioaktif lain. Pemerintah meyakini, opsi pembuangan air yang sudah terencana ini adalah opsi paling aman.
Perusahaan pembangkit listrik terbesar di Jepang TEPCO pun turut menjamin keamanan ini dengan melakukan pengawasan lewat pengambilan sampel air laut. Hasil laporan dari Jumat (25/08) lalu menunjukkan tingkat radioaktivitas berada dalam batas aman, yaitu di bawah 1.500 Bq/L (becquerel per liter), jauh di bawah tingkat yang disyaratkan oleh WHO. Beberapa ahli lingkungan pun turut mengemukakan pendapat. Jim Smith, profesor ilmu lingkungan dari University of Portsmouth mengatakan bahwa risiko dari pembuangan limbah ini sangatlah rendah. Menurutnya, apabila pembuangan limbah ini ditangani dengan tepat, tingkat radioaktif yang dilepaskan tidak signifikan dampaknya pada manusia maupun ekosistem. Edwin Lyman dari Union of Concerned Scientists Washington mengatakan dari sekian opsi terbatas yang Jepang miliki dalam hal limbah air, tidak ada opsi yang betul-betul baik, tapi rencana yang dipilih adalah yang paling tidak buruk. Apa kata mereka yang menolak? Meskipun pemerintah Jepang sudah menyusun rencana dan memberi jaminan, rencana ini masih menuai banyak kontradiksi. Mengutip dari BBC Indonesia (26/08), surat kabar Asahi Shimbun mencatat hingga Agustus ini masih ada 41% penduduk Jepang yang tidak mendukung rencana tersebut. Greenpeace pun turut meragukan pengawasan yang dilakukan Tepco, mengatakan sistemnya tidak cukup efektif dalam menjamin minimnya zat radioaktif. Ken Buesseler, ilmuwan senior dari Woods Hole Oceanographic Institution, mengatakan lebih baik air limbah ini tetap dikelola di darat agar mudah diawasi. Salah satu opsinya yaitu dengan mencampurkan air limbah tersebut ke dalam beton. Menurutnya juga, pembuangan limbah ini tidak akan mengancam seluruh Samudera Pasifik. Namun pesisir Jepang akan mengalami dampak jangka panjang akibat akumulasi zat radioaktif selain Tritium, yang mana akan berdampak besar pada kehidupan lautnya. Selain Cina, negara lain yang menentang pembuangan air limbah ini adalah Korea Selatan, atau lebih tepatnya masyarakatnya. Warga Korea Selatan maju berunjuk rasa memprotes laporan IAEA. Hal ini juga disebabkan pemerintah mereka tidak keberatan dengan rencana pembuangan limbah tersebut. Pembuangan limbah ini dianggap sebagai sebuah hinaan terhadap lingkungan, terutama di tengah perubahan iklim. Namun demikian, proses ini juga merupakan situasi mendesak bagi Jepang.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(nar)