Foto: Pexels
Teknologi.id - FinTech (Financial Technology) merupakan sebuah fenomena global yang mengubah cara kita melakukan transaksi. Dalam beberapa tahun terakhir, FinTech telah berkembang pesat di Indonesia dengan dua jenis utama yaitu FinTech Syariah dan Konvensional. Keduanya memiliki tujuan serta penggunaan teknologi yang sama. Namun, keduanya memiliki perbedaan pada prinsip operasional dan regulasi yang diterapkan.
Meskipun begitu, tidak sulit untuk menemukan perbedaan antara FinTech Syariah dengan FinTech Konvensional. Karena kedua hal tersebut kurang lebih sama dengan yang ada pada perbankan dan mungkin sudah tidak asing lagi.
Bagi kamu yang belum tahu, FinTech Syariah merupakan salah satu jenis FinTech yang menerapkan prinsip-prinsip Islam, seperti melarang adanya bunga (riba), perjudian (maisir) dan ketidakpastian (gharar).
Artikel ini akan menjelaskan lebih lengkap mengenai perbedaan antara kedua jenis FinTech tersebut. Pastikan untuk membaca artikel ini hingga akhir untuk mengetahui info lengkapnya.
1. Prinsip operasional
Perbedaan yang pertama sekaligus utama antara FinTech Syariah dan FinTech Konvensional terletak pada prinsip dalam menjalankan bisnisnya. Karena FinTech Syariah menarapkan prinsip-prinsip Islam dalam bisnisnya, maka pengambilan bunga (riba) pun ditiadakan. Berbeda dengan FinTech Konvensional yang tetap menerapkan bunga seperti contohnya bunga pinjaman.
Meskipun melarang adanya bunga, FinTech Syariah menawarkan produk yang berbasis pada sistem bagi hasil (profit-sharing) atau akad-akad syariah lainnya.
Baca Juga: GoPay Hadirkan Fitur Baru "Split Bill" yang Mudah Digunakan!
Contoh dari beberapa akad yang ada pada FinTech Syariah, antara lain:
- Akad murabahah (jual beli) : Nasabah dapat membeli suatu barang atau produk yang telah dibeli terlebih dahulu oleh Bank. Kemudian, Bank akan menjual barang atau produk tersebut kepada nasabah dengan harga yang lebih tinggi sesuai kesepakatan.
- Akad Ijarah wa iqtina (sewa menyewa) : Nasabah dapat menyewa suatu barang atau produk yang telah dibeli terlebih dahulu oleh Bank dalam kurun waktu tertentu.
- Akad Mutanaqishah : FinTech ataupun nasabah bersama-sama menaruh modal untuk memiliki sesuatu. Namun, nantinya nantinya nasabah dapat membeli bagian dari FinTech untuk memiliki benda tersebut sepenuhnya.
2. Resiko dan cicilan
Berikutnya adalah perbedaan dari segi resiko dan cicilan. Pada FinTech Konvensional, nasabah akan bertanggung jawab penuh atas risiko pembayaran. Jika nasabah mengalami kesulitan keuangan dan tidak dapat membayar cicilan tepat waktu, maka bunga akan terus bertambah. Dengan bertambahnya bunga ini tentu juga berarti hutang yang dimiliki oleh nasabah tersebut juga akan semakin besar. Maka dari itu, ada banyak contoh kasus di mana nasabah tidak mampu melunasi hutang-hutangnya yang berdampak pada pelaporan kredit buruk atau tindakan hukum dari pihak FinTech tersebut.
Sebaliknya, dalam sistem pembiayaan berbasis akad syariah, prinsip keadilan dan tanggung jawab bersama menjadi prioritas utama. Ketika nasabah dan fintech syariah menjalin akad, kedua belah pihak sepakat untuk berbagi risiko secara adil. Sebagai contoh, apabila nasabah menerima pembiayaan dari FinTech untuk sebuah usaha, maka keuntungan usaha pun akan dibagi antara nasabah dengan FinTech sesuai kesepakatan. Namun, jika usaha tersebut mengalami kerugian, makan FinTech juga akan menanggung kerugian tersebut. Hal ini membuat beban apabila terjadi kerugian tidak akan jatuh sepenuhnya kepada nasabah. Pendekatan ini menjadi salah satu hal yang membuat nasabah lebih mendapatkan rasa perlindungan karena tidak akan terjerat pada hutang bunga.
Baca Juga: Menkominfo Akan Buat Kontak Darurat 112 : Bakalan Kayak 911?
3. Ketersediaan pinjaman
Perbedaan yang terakhir adalah dari ketersediaan pinjaman. Pada sistem FinTech Syariah, ada produk-produk khusus yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang tidak ada pada FinTech Konvensional. Salah satu contoh dari produk-produk tersebut adalah untuk keperluan pendidikan, Haji, Umroh, atau kegiatan lain yang bersifat religius. FinTech Syariah akan menawarkan kemudahaan pembiayaan yang bebas riba, gharar, dan maysir. Sebagai contoh, dalam pembiayaan pendidikan, FinTech Syariah dapat memberikan pembiayaan pendidikan kepada nasabah dengan cicilan yang tidak melibatkan bunga. Nasabah mampu membayar secara berkala dalam jumlah yang tetap tanpa adanya risiko tambahan beban finansial di kemudian hari.
Sedangkan untuk FinTech Konvensional, tidak ada produk-produk khusus yang bernuansa agama seperti yang ada pada FinTech Syariah. Umumnya, FinTech Konvensional akan berfokus pada kebutuhan komersial seperti pembelian barang atau modal usaha.
Itu dia perbedaan yang ada pada FinTech Syariah dan FinTech Konvensional. Kedua jenis ini tentu memiliki kekurangan serta kelebihan masing-masing. Untuk kamu yang sedang membutuhkan modal dari FinTech saat ini, pastikan untuk menentukan jenis FinTech mana yang paling cocok untuk kebutuhanmu.
Baca berita dan artikel lainnya di: Google News
(ANNA)