.jpg&size=720x400)
Teknologi.id - Beberapa tahun terakhir, Apple telah mengalihkan beberapa produksi dari China ke negara lain seperti India, Vietnam, dan Malaysia. iPhone dibuat di India, AirPods dirakit di Vietnam, dan desktop Mac diproduksi di Malaysia untuk warga Amerika Serikat. Strategi diversifikasi rantai pasokan ini diambil Apple sebagai langkah antisipasi risiko, mulai dari tarif pada masa pemerintahan Donald Trump hingga gangguan pasokan akibat pandemi dan krisis chip.
Namun, situasi berubah drastis ketika Trump mengenakan tarif tinggi terhadap negara-negara tersebut. Dampaknya langsung terasa di pasar; saham Apple turun lebih dari 9% pada suatu hari, jauh lebih besar daripada penurunan 6% pada indeks Nasdaq. Penurunan ini menghapus nilai pasar Apple lebih dari USD 300 miliar, mencatat kinerja terburuk sejak Maret 2020.
Menurut analis Morgan Stanley, Erik Woodring, tarif tersebut menyasar negara-negara yang menjadi basis diversifikasi rantai pasokan Apple seperti Vietnam, India, dan Thailand. "Tarif ini membuat tidak ada celah bagi Apple untuk menghindarinya," ujarnya.
Baca juga: Selamat Tinggal iPhone Mini, Apple Resmi Stop Produksi HP Kecil
Dampak Tarif Terhadap Harga Produk Apple
Untuk menutupi biaya tambahan akibat tarif, Apple mungkin terpaksa menaikkan harga produk mereka hingga 17% hingga 18% di Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan banyak ketidakpastian, terutama karena belum jelas langkah apa yang akan diambil Apple dan bagaimana reaksi China terhadap kebijakan tersebut. "Dalam situasi seperti ini, penting untuk mempersiapkan skenario terburuk," tambahnya.
Saat ini, hampir seluruh produksi Apple dilakukan di beberapa negara seperti China, India, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Vietnam. Apple sendiri telah mengingatkan investor bahwa tarif yang tinggi bisa berdampak pada bisnis, seperti kenaikan harga dan kemungkinan pengurangan lini produk tertentu. Kini, semua negara yang menjadi basis produksi Apple terkena tarif besar.
Kebijakan "Made in USA" dan Tantangannya
Trump mengumumkan tarif ini dengan tujuan memulihkan manufaktur di Amerika Serikat. Ia mengklaim bahwa perusahaan seperti Apple akan membangun pabrik di AS. Meskipun Apple memproduksi komputer desktop kelas atas, Mac Pro, di Texas, sebagian besar perakitan produk dilakukan di luar negeri. Meskipun telah ada investasi senilai USD 500 miliar di AS untuk membeli suku cadang dan chip dari pemasok lokal, Apple belum berkomitmen untuk memindahkan produksi massal ke dalam negeri.
Para analis sepakat bahwa memindahkan rantai pasokan ke AS bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu serta biaya besar. Menurut perkiraan, memindahkan bahkan 10% dari rantai pasokan dari Asia ke AS bisa memakan waktu tiga tahun dan biaya mencapai USD 30 miliar, dengan gangguan besar dalam prosesnya.
Baca juga: Foto Dummy iPhone 17 Air Beredar, Beneran Tanpa Port?
Dampak Langsung Terhadap Harga iPhone
Trump juga telah mengenakan tarif 20% terhadap barang dari China dan menambahkan tarif timbal balik sebesar 34%, sehingga total tarif mencapai 54%. Karena sebagian besar dari 200 juta iPhone yang diproduksi setiap tahun dibuat di China, produk ini pun menghadapi risiko kenaikan harga yang signifikan.
Apple, yang dikenal dengan margin keuntungan yang tinggi, harus memutuskan apakah akan menanggung biaya tambahan tersebut atau membebankannya kepada investor dan konsumen. Jika memilih untuk membebankannya kepada konsumen, harga iPhone terbaru bisa melonjak hingga 43%. Dalam skenario terburuk, menurut analis Daniel Ives, harga iPhone di AS bisa mencapai USD 2.300 atau sekitar Rp 38 juta. Bahkan model yang lebih terjangkau, seperti iPhone 16e, diprediksi harganya bisa naik dari USD 600 menjadi USD 858.
Kenaikan harga yang drastis ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Apple, terutama di tengah kondisi ekonomi di mana konsumen sudah lelah dengan inflasi dan kenaikan harga barang.
Dengan berbagai tantangan tersebut, masa depan strategi produksi dan penetapan harga Apple kini semakin penuh dengan ketidakpastian. Bagaimana langkah selanjutnya akan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dan reaksi pasar global terhadap tarif yang diberlakukan.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(dwk)