Teknologi.id – Algoritma AI melakukan penjelajahan
kepada setiap konten terkait Olimpiade Paris 2024 yang diunggah di media
online. Tujuan utama diadakannya penjelajahan oleh AI adalah untuk mencegah pelecehan
daring para atlet di media online.
Banyaknya jumlah unggahan mengenai Olimpiade Paris 2024 yang
melibatkan lebih dari 15.000 atlet dan 2.000 official akan menjadi sorotan di
media sosial. Dukungan dari publik akan muncul bersamaan dengan kebenciaan, pelecehan,
bahkan ancaman kekerasan.
Berdasarkan perkiraan dari International Olimpic Committee (IOC), akan ada lebih dari setengah miliar unggahan di media sosial dengan topik Olimpiade Paris 2024.
Baca Juga: IMF: Kecerdasan Buatan (AI) Berikan Dampak 40% Pada Pekerjaan
Ujaran kebencian, cyberbullying, bahkan pelecehan
online menjadi masalah serius yang mengancam para atlet baik dari segi
kesehatan mental maupun performa saat pertandingan. Maka dari itu, IOC memanfaatkan
algoritma AI untuk meninjau setiap unggahan untuk menjaga para atlet dari ujaran
kebencian, cyberbullying, dan pelecehan online.
Olimpiade saat ini menaruh fokus yang lebih besar terhadap
kesehatan mental dan kesejahteraan para atlet dan duniah olahraga. Hal ini,
mengingat peran media sosial dalam meningkatkan jumlah ujaran kebencian, cyberbullying,
dan pelecehan online yang mungkin diterima para atlet, kata Kepala Safe Sport
Unit IOC, Kirsty Burrows.
“Kekerasan antarpribada tidak hanya dapat terjadi secara
fisik, tetapi juga online yang dapat dilihat dari pelecehan dan ujaran
kebencian online yang meningkat. Tidak mungkin menangani volume data tanpa
bantuan AI,” ungkap Burrows.
Terdapat bentuk-bentuk ujaran kebencian, cyberbullying, dan pelecehan online yang dapat ditangani dengan filter. Akan tetapi, ujaran kebencian, cyberbullying, dan pelecehan online seringkali diungkapkan dengan bahasa yang lebih halus. Maka, diperlukan AI yang dapat memilah makna dalam lautan konten. IOC memanfaat sistem bernama Threat Matrix yang dilatih untuk menyingkrikan ujaran kebencian, cyberbullying, dan pelecehan online di Olimpiade Paris 2024.
Baca Juga: Bank Indonesia Mulai Terapkan AI untuk Pengawasan Transaksi
Menurut dosen senior University of Gloucestershire, Qublai
Ali Mirza, Threat Matrix menggunakan pendekatan multifaset. Maka dari itu,
Threat Matrix dapat mengekstraksi sentiment yang dituliskan dalam sebuah teks,
memproses gambar dan emoji yang mengubah makna teks, dan memahami makna serta
nuansa yang ada dalam berbagai bahasa di wilayah tertentu. Dibutuhkan sangat banyak
pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
“AI memungkinkan adanya respon otomatis. Sangat penting
untuk menghentikan ini sejak awal, dan mengetasinya sebelum sampai ke penerima.
Para atlet berada pada posisi yang mengharuskan untuk meminta bantuan,” tutur
Ali Mirza.
Selama Olimpiade Paris 2024 berlangsung, Threat Matrix akan meninjau setiap unggahan di Facebook, Instagram, TikTok, dan X dalam lebih dari 35 bahasa. Kemudian, Threat Matrix akan mengidentifikasi ujaran kebencian yang ditujukan untuk para atlet, rombongan, dan official di Olimpiade dan Paralimpiade. Setelah itu, sistem akan mengkategorikan bentuk-bentuk ujaran kebenciang, cyberbullying, dan pelecehan online sebelum meneruskan kepada peninjau manusia.
"AI melakukan sebagian besar pekerjaan berat, tetapi
penanganan manusia sangatlah penting," kata Burrows.
Saat menemukan masalah, tim IOC akan memeriksa unggahan dan
mencari konteks yang terlewatkan oleh AI. Kemudian tim akan mengambil langkah
penyelesaian masalah seperti menghubungi korban dan menawarkan dukungan,
mengajukan permintaan penghapusan unggahan, serta menghubungi pihak hukum untuk
menangani ancaman yanh lebih serius. Menurut IOC, seringnya ini terjadi bahkan
sebelum atlet melihat unggahan yang menyinggung.
Atlet profesional sangat rentan mendapatkan ujaran kebencian, cyberbullying, dan pelecehan online. Menurut dosen senior bisnis olahraga di Universitas Loughborough Inggris, Emily Hayday, pelecehan terhadap atlet tidak pernah sebesar ini. Sebelumnya, Hayday melakukan penelitian terhadap praktik toxic media sosial yang dialami oleh atlet dan ia berhasil mengumpulkan lebih dari 240.000 tweet yang mengandung konten pelecehan online dalam waktu 72 jam Olimpiade dan Paralimpiade. Berdasarkan penelitian tersebut reaksi dari para atlet cukup beragam seperti kerugian fisik, kerugian psikologis, bahkan bunuh diri.
Baca Juga: YouTube Akan Beri Label pada Video Hasil Buatan AI
"Seorang atlet yang mengalami cercaan daring 10 tahun
lalu masih menghadapi dampaknya hingga kini," kata Hayday.
Threat Matrix menjadi salah satu upaya yang perlu dicoba itulah
organisasi olahraga profesional, pelatih, dan pihak lain dalam menghadapi
ujaran kebencian, cyberbullying, dan pelecehan online yang mungkin
diterima para atlet. Akan tetapi, teknologi tidak dapat menyelesaikan masalah
sosial sendiri, dibutuhkan upaya berkelanjutan untuk melindungi atlet, kata
Burrows.
Upaya berkelanjutan tersebut termasuk dalam perubahan norma,
sikap, dan ekspektasi terkait para atlet. IOC menyediakan kursus media sosial
yang bertujuan untuk membantu para atlet dalam memahami bagaimana konten positif
dan konten negatif di media sosial dapat memengaruhi kondisi psikologis mereka
dan mengajarkan strategi untuk mengatasi masalah serta mengidentifikasi
dukungan tambahan.
"Ini tentang mengambil pendekatan holistik terhadap
kesejahteraan atlet, dan kami berkomitmen untuk melakukan segala yang kami bisa
dalam olahraga untuk menumbuhkan lingkungan yang aman secara psikologis dan
menghilangkan stigma tentang kesehatan mental," kata Burrows.
Baca Berita dan Artikel lain di Google
News.
(sap)