
Teknologi.id - Di Seoul, pemandangan pelanggan menyeret komputer desktop lengkap dengan monitor, printer, hingga kabel ekstensi ke dalam gerai Starbucks bukanlah hal asing lagi. Fenomena ini bahkan punya nama khusus: cagongjok. Istilah tersebut lahir dari gabungan kata café (kafe), gongbu (belajar), dan jok (suku), yang menggambarkan kelompok orang yang menjadikan kafe sebagai kantor pribadi.
Tidak hanya laptop, banyak dari mereka membawa CPU, monitor besar, bahkan sekat meja untuk membatasi area kerja. Alhasil, suasana gerai berubah seperti coworking space dadakan.
Baca juga: Heboh! Ilmuwan Harvard Prediksi Pesawat Alien Akan Serang Bumi Tahun Ini
Dari Kreativitas hingga Kekacauan Ruang Publik
Tren remote working yang meningkat sejak pandemi COVID-19 membuat banyak orang di Korea Selatan memanfaatkan kafe sebagai ruang kerja alternatif. Jika dulu kafe identik dengan tempat nongkrong santai, kini berubah menjadi “kantor umum”.
Namun, kebebasan ini memunculkan masalah. Banyak pelanggan yang duduk berjam-jam hanya dengan membeli satu minuman. Beberapa bahkan membawa perlengkapan berlebihan yang membuat pengunjung lain kesulitan mendapatkan tempat duduk. Situasi ini jelas mengganggu kenyamanan, terutama bagi mereka yang hanya ingin menikmati kopi.
Kebijakan Baru Starbucks Korea
Menanggapi fenomena ini, Starbucks Korea mengeluarkan aturan baru: pelanggan dilarang membawa perangkat besar seperti komputer desktop, printer, hingga partisi meja ke dalam gerai. Meski begitu, laptop, tablet, dan ponsel tetap diperbolehkan selama tidak mengganggu kenyamanan orang lain.
Langkah ini diambil bukan sekadar penertiban, tetapi juga untuk menjaga esensi Starbucks sebagai “ruang ketiga”—tempat di antara rumah dan kantor yang mendorong interaksi sosial, produktivitas, dan relaksasi dalam kadar yang seimbang.
Respon Publik dan Implikasi Sosial
Kebijakan ini langsung viral di media sosial Korea Selatan. Banyak warganet mendukung langkah Starbucks dan berharap kafe lain ikut melakukan hal serupa. Di sisi lain, muncul kritik terhadap perilaku sebagian pelanggan yang dianggap tidak etis, seperti menempati meja terlalu lama atau membawa perlengkapan kerja layaknya kantor pribadi.
Fenomena ini juga memperlihatkan realitas kehidupan urban di Seoul. Harga sewa kantor yang tinggi membuat banyak orang mencari alternatif ruang kerja murah, termasuk menjadikan kafe sebagai pilihan. Namun, menurut Profesor Jo Elfving-Hwang dari Curtin University, tren ini bisa disebut sebagai “cara kerja murah yang kebablasan”.
Starbucks dan Posisi Strategis di Korea Selatan
Dengan lebih dari 1.870 gerai per Oktober 2023, Korea Selatan adalah pasar terbesar ketiga Starbucks di dunia setelah Amerika Serikat dan China. Popularitas tinggi membuat setiap kebijakan perusahaan berdampak luas, baik secara sosial maupun bisnis.
Starbucks Korea tidak membatasi durasi kunjungan pelanggan, tetapi meminta mereka menjaga etika penggunaan ruang bersama. Misalnya, membawa barang pribadi ketika meninggalkan kursi cukup lama atau mengizinkan orang lain berbagi meja besar.
Budaya Nongkrong dan Evolusi Ruang Sosial
Menurut Young-Key Kim-Renaud, profesor emeritus dari George Washington University, budaya nongkrong di rumah teh dan kafe sudah ada sejak lama di Korea. Tempat-tempat ini dahulu menjadi ruang diskusi seni, sastra, hingga politik. Kini, budaya tersebut berevolusi mengikuti tren kerja fleksibel dan digitalisasi.
Starbucks, sebagai ikon global, berada di tengah dilema: mempertahankan nilai inklusif sekaligus merespons kebutuhan lokal yang terus berubah.
Baca juga: Mata Uang Kripto Akan Jadi Alat Pembayaran di Starbucks
Menata Ulang Ruang Publik
Aturan baru Starbucks Korea Selatan bukan sekadar larangan, tetapi juga ajakan menata ulang batas antara produktivitas dan etika ruang publik. Di tengah tuntutan kerja fleksibel dan mobilitas tinggi, kenyamanan bersama tetap harus menjadi prioritas.
Bagi generasi muda dan pekerja urban, kebijakan ini menjadi pengingat penting bahwa ruang publik adalah milik bersama, bukan hanya individu. Dan di setiap cangkir kopi, tersimpan harapan bahwa interaksi sosial tetap bisa berlangsung hangat—tanpa harus membawa printer ke meja kafe.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(ipeps)

Tinggalkan Komentar