Sumber: Unsplash / Nicole Wreyford
Teknologi.id - Di tengah rimba tropis Indonesia yang dulu ramai dengan langkah berat badak, kini hanya tersisa keheningan. Suara khas mereka makin jarang terdengar, seolah menjadi tanda peringatan alam bahwa waktu mereka di bumi Nusantara kian menipis. Dua spesies ikonik, badak jawa dan badak sumatra, kini berada di ambang kepunahan.
Baca juga: PT Pindad Ungkap Eril Berperan dalam Produksi Ranpur Anoa & Badak
Namun, di balik kabar muram itu, secercah harapan muncul dari kampus hijau IPB University. Melalui Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB), tim peneliti di bawah pimpinan Muhammad Agil, pakar Assisted Reproductive Technology (ART), tengah berjuang dengan ilmu dan teknologi untuk mempertahankan keberadaan satwa megafauna ini.
Populasi Menurun, Genetika Melemah
Kondisi badak sumatra saat ini bisa dibilang gawat darurat. Lebih dari 70 persen populasi hasil penyelamatan tahun 1980–1990 mengalami gangguan organ reproduksi, sehingga membuat peluang berkembang biak semakin kecil.
“Banyak badak betina kita yang mengalami tumor pada organ reproduksi, membuat mereka sulit untuk hamil dan melahirkan,” ungkap Agil dalam acara Perjanjian Kerja Sama dan Peletakan Batu Pertama Laboratorium Pusat ART dan Biobank bersama Kementerian Kehutanan di Kampus IPB Dramaga, Bogor.
Sementara itu, kondisi badak jawa tak kalah memprihatinkan. Meski populasinya relatif stabil di Taman Nasional Ujung Kulon, keragaman genetiknya sangat rendah. Tim peneliti IPB menemukan bahwa badak jawa hanya memiliki dua haplotipe genetik, angka yang menandakan kerentanan luar biasa.
“Jika tidak ada intervensi, badak jawa bisa punah dalam 50 tahun ke depan,” kata Agil, menegaskan urgensi tindakan konservasi berbasis bioteknologi.
Teknologi Jadi Tali Penyelamat
Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah Indonesia pada tahun 2018 meluncurkan Aksi Darurat Konservasi Badak Sumatra dan Badak Jawa. Salah satu strategi utamanya adalah memanfaatkan teknologi ART dan biobank.
Teknologi ART memungkinkan proses reproduksi buatan seperti inseminasi buatan, fertilisasi in vitro (bayi tabung), hingga transfer embrio untuk memperluas keberhasilan perkembangbiakan spesies yang sulit dikembangbiakkan secara alami.
Agil mencontohkan kisah inspiratif dari luar negeri. Di Kenya, badak putih utara yang sempat dinyatakan punah berhasil dikembangkan kembali melalui teknologi embrio dan kloning. Di Amerika Serikat, musang kaki hitam (black-footed ferret) berhasil dilahirkan kembali dari DNA yang disimpan bertahun-tahun lalu.
“Kami ingin keberhasilan itu terjadi juga pada badak sumatra dan jawa,” ujar Agil penuh harap.
Dari Sperma Beku hingga Sel Punca
Saat ini, tim IPB tengah mengumpulkan sperma, sel telur, dan sel kulit badak sumatra yang kemudian akan dikembangkan menjadi sel punca (stem cell) dan gamet buatan. Langkah ini bukan hanya untuk membantu proses reproduksi, tapi juga memperluas variasi genetik yang kini sangat terbatas.
Lebih menarik lagi, IPB bekerja sama dengan Osaka University dan beberapa museum Eropa untuk mengakses material genetik badak Indonesia yang telah lama disimpan dalam bentuk frozen zoo.
“Selain di Berlin, ada juga di Copenhagen, Brussel, Belgia, Belanda, dan Adelaide. Mereka menyimpan material badak jawa dan badak sumatra yang sangat berharga,” jelas Agil.
Baca juga: Viral! Prompt AI Foto Prewedding Ini Bikin Hasil Kayak Studio Mahal, Padahal Gratis!
Biobank: Gudang Kehidupan Satwa Nusantara
Pusat ART dan Biobank yang tengah dibangun di IPB University tak hanya difokuskan pada badak, tapi juga akan menjadi pusat konservasi satwa liar berbasis teknologi di Indonesia. Biobank ini berfungsi sebagai “gudang kehidupan”, menyimpan sel dan jaringan dari berbagai spesies langka agar tetap bisa digunakan untuk riset dan reproduksi di masa depan.
Agil menegaskan, keberhasilan misi ini tak bisa berdiri sendiri. Butuh kolaborasi erat antara ilmuwan, pemerintah, dan komunitas internasional. Dengan dukungan penuh, Indonesia bisa menjadi pelopor dalam penyelamatan spesies endemik melalui inovasi bioteknologi.
“Tujuan kami sederhana: memastikan suara badak tidak benar-benar hilang dari hutan Indonesia,” ujar Agil menutup pernyataannya.
Jika langkah ini berhasil, maka teknologi bukan lagi sekadar alat modern, melainkan jembatan antara masa lalu dan masa depan, yang menjaga agar salah satu makhluk tertua di bumi tetap hidup dalam harmoni ekosistem Nusantara.
(mo)

Tinggalkan Komentar