DJP Tunjuk OpenAI Pungut Pajak Digital, ChatGPT Resmi Kena PPN 11%

Wildan Nur Alif Kurniawan . December 29, 2025


Foto: Freepik

Teknologi.id – Peta perpajakan digital di Indonesia kembali mencatat tonggak sejarah baru. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan secara resmi telah menunjuk OpenAI OpCo LLC, perusahaan induk di balik chatbot kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) populer ChatGPT, sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk digital yang dijual kepada pelanggan di tanah air. Penunjukan ini menandai berakhirnya era "bebas pajak" bagi salah satu alat produktivitas AI paling berpengaruh di dunia saat ini.

Langkah ini merupakan bagian dari perluasan subjek pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi para pelaku usaha, baik lokal maupun mancanegara. Dengan penetapan ini, setiap transaksi langganan ChatGPT Plus maupun layanan API berbayar lainnya akan otomatis dikenakan tambahan biaya pajak yang akan disetorkan langsung ke kas negara. Kebijakan ini menegaskan bahwa setiap aktivitas ekonomi digital yang mengambil nilai dari pasar Indonesia kini wajib memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan nasional.

Dasar Hukum dan Penunjukan OpenAI

Berdasarkan laporan resmi dari CNBC Indonesia, penunjukan OpenAI sebagai pemungut PPN dilakukan setelah perusahaan tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam regulasi perpajakan Indonesia. Pemerintah telah menetapkan ambang batas khusus bagi perusahaan digital luar negeri untuk wajib memungut pajak, yakni memiliki nilai transaksi dengan pengguna di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam satu tahun atau memiliki trafik pengakses yang melebihi 12.000 pengguna dalam kurun waktu satu tahun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa masuknya OpenAI ke dalam daftar pemungut pajak merupakan hasil dari pemantauan intensif terhadap aktivitas ekonomi digital yang semakin masif. Seiring dengan meledaknya penggunaan kecerdasan buatan untuk kebutuhan profesional, pendidikan, hingga personal di Indonesia, nilai transaksi yang dihasilkan oleh OpenAI telah melampaui batas minimum tersebut. Oleh karena itu, kewajiban perpajakan menjadi mutlak untuk diterapkan demi menjaga integritas sistem keuangan negara.

Mekanisme PPN 11% dan Dampak Harga bagi Konsumen

Dengan resminya penunjukan ini, setiap pengguna layanan premium ChatGPT di Indonesia akan melihat adanya komponen tambahan dalam tagihan bulanan mereka. Jika sebelumnya biaya langganan ChatGPT Plus berada di kisaran $20 USD (sekitar Rp310.000 - Rp325.000 tergantung kurs), maka mulai periode penagihan berikutnya, harga tersebut akan ditambah dengan PPN sebesar 11%. Penambahan ini dilakukan secara otomatis oleh sistem tagihan OpenAI yang kini telah terintegrasi dengan parameter perpajakan Indonesia.

Secara teknis, OpenAI kini bertindak sebagai "agen pemerintah" yang memungut pajak tersebut saat transaksi terjadi. Pengguna akan menerima bukti pungut berupa invoice yang mencantumkan rincian PPN, yang bagi pengguna korporasi atau profesional dapat digunakan sebagai dokumen perpajakan yang valid. Meski kenaikan ini mungkin dirasa memberatkan bagi sebagian individu, pemerintah menekankan bahwa ini adalah bentuk kontribusi adil atas pemanfaatan infrastruktur digital Indonesia yang digunakan oleh platform tersebut untuk meraup keuntungan dari jutaan penggunanya.


Foto: Deus Code

Baca juga: Gemini 3 Flash Meluncur: Performa Setara Pro, Harga 4 Kali Lebih Murah

Keadilan Berusaha dan Level Playing Field

Salah satu alasan fundamental di balik kebijakan ini adalah penciptaan level playing field atau kesetaraan dalam berusaha. Sebelum aturan ini ditegakkan secara menyeluruh, banyak perusahaan teknologi dalam negeri yang menyediakan jasa perangkat lunak sudah lebih dulu dikenakan PPN. Tanpa adanya pajak bagi perusahaan asing seperti OpenAI, terjadi ketimpangan harga yang membuat produk lokal seolah-olah lebih mahal hanya karena beban pajak yang tidak setara.

Dengan mewajibkan ChatGPT membayar pajak, pemerintah memastikan bahwa perusahaan raksasa global tidak memiliki keuntungan kompetitif yang tidak adil di pasar domestik. Selain itu, kebijakan ini mencerminkan kedaulatan digital Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya sekadar pasar bagi teknologi asing, tetapi juga memiliki regulasi yang kuat untuk memastikan bahwa setiap keuntungan yang dihasilkan di wilayahnya juga memberikan manfaat kembali bagi masyarakat Indonesia melalui instrumen pajak.

Rekor Penerimaan Pajak Digital Nasional yang Melambung

Hingga akhir November 2025, catatan DJP menunjukkan performa yang sangat impresif dari sektor pajak digital. Secara total, terdapat 254 perusahaan digital yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE, mulai dari layanan streaming, musik, hingga kini merambah ke sektor AI. Dari jumlah tersebut, sebanyak 215 perusahaan telah secara rutin menyetorkan pajaknya ke kas negara. Angka ini terus menunjukkan tren pertumbuhan yang signifikan dari tahun ke tahun.

Data statistik menunjukkan keberhasilan kebijakan ini dengan angka akumulasi penerimaan sejak tahun 2020 hingga November 2025 yang mencapai Rp34,54 triliun. Pada tahun 2025 saja, hingga bulan November, penerimaan sudah mencapai Rp9,19 triliun, yang artinya sudah melampaui total penerimaan sepanjang tahun 2024 yang sebesar Rp8,44 triliun. Masuknya OpenAI diprediksi akan menjadi pendorong yang sangat signifikan bagi target pajak di tahun 2026 mendatang, mengingat tingginya ketergantungan berbagai sektor industri di Indonesia terhadap layanan ChatGPT.

Baca juga: Mengejutkan! ChatGPT Kini Lebih Sering Dipakai untuk Tanya Pajak daripada Koding

Masa Depan Regulasi AI dan Ekonomi Digital

Penunjukan OpenAI hanyalah awal dari langkah pemerintah dalam merapikan ekosistem digital. Para pengamat ekonomi memprediksi bahwa ke depan, pemerintah akan terus memantau perusahaan AI lainnya yang memiliki basis pengguna besar di Indonesia, seperti Anthropic (Claude), Perplexity, atau penyedia layanan visual AI lainnya. Industri AI tidak lagi dipandang sebagai "teknologi masa depan", melainkan industri matang yang memutar dana besar dan memengaruhi produktivitas ekonomi secara luas.

Selain PPN, diskusi mengenai pajak penghasilan bagi perusahaan teknologi luar negeri yang tidak memiliki kantor fisik namun memiliki kehadiran ekonomi signifikan (Significant Economic Presence) juga mulai mencuat. Hal ini sejalan dengan konsensus pajak global yang sedang digodok oleh negara-negara di dunia. Dengan demikian, langkah memajaki ChatGPT hari ini merupakan bagian dari persiapan jangka panjang Indonesia dalam menghadapi ekonomi digital yang semakin kompleks dan terdesentralisasi.

Kontribusi Pengguna untuk Pembangunan Infrastruktur

Sebagai penutup, pengenaan pajak pada layanan populer seperti ChatGPT adalah konsekuensi logis dari integrasi teknologi ke dalam kehidupan sehari-hari. Dana yang terkumpul dari PPN PMSE ini dialokasikan kembali oleh negara untuk membiayai berbagai program pembangunan, mulai dari peningkatan kualitas jaringan internet di daerah terpencil hingga penguatan keamanan siber nasional.

Bagi masyarakat pengguna, kebijakan ini memberikan kepastian hukum dan transparansi. Kita kini tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi juga berkontribusi secara nyata pada pembiayaan negara melalui setiap interaksi langganan yang kita lakukan. Dengan ekosistem yang lebih adil dan teratur, diharapkan industri teknologi di Indonesia dapat tumbuh lebih sehat dan bersaing secara kompetitif di kancah global.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News

(WN/ZA)

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar