Teknologi.id - Para peneliti di University of Pittsburgh School of Medicine mengumumkan bahwa mereka telah berhasil mengembangkan kandidat vaksin COVID-19 yang menjanjikan.
Alih-alih disuntikkan melalui jarum suntik konvensional seperti vaksin-vaksin pada umumnya, vaksin baru yang dinamai "PittCoVacc" (Pittsburgh Coronavirus Vaccine) ini ditransfusikan melalui ‘microneedle patch’.
Microneedle patch tersebut berbentuk seperti plester luka, yang terdiri dari 400 “microneedle” alias jarum-jarum halus dan super kecil.
Baca juga: Orang Indonesia Bikin Alat Rapid Test COVID-19 Mandiri, Hasil Keluar 10 Menit
Jarum-jarum halus yang seluruhnya terbuat dari gula dan protein larut tersebut, nantinya tidak akan meninggalkan jejak sama sekali setelah PittCoVacc direkatkan ke badan pasien.
Andrea Gambotto, salah satu profesor di Pittsburgh School of Medicine, menyatakan para peneliti menggunakan pengalaman yang sama untuk vaksin COVID-19 ini dari epidemi SARS dan MARS yang sudah lebih dulu dijinakkan.
“Kami memiliki pengalaman sebelumnya tentang SARS-CoV pada tahun 2003 dan MERS-CoV pada tahun 2014,” ungkap Gambotto dalam sebuah pernyataan.
Baca juga: Banyak Diakses Selama WFH, Sri Mulyani Kejar Pajak Netflix dan Zoom
“Kedua virus ini, yang terkait erat dengan SARS-CoV-2, mengajarkan kepada kita bahwa protein tertentu, yang disebut protein ‘paku’, sangat penting untuk meningkatkan kekebalan terhadap virus,” jelas Gambotto. "Kami tahu persis di mana untuk melawan virus baru ini," tegas Gabotto penuh percaya diri.
Dengan berbentuk microneedle patch layaknya sebuah plester, Louis Falo, profesor dan ketua dermatologi di Pittsburgh School of Medicine, menyebut vaksin baru ini sama sekali tidak akan menyakitkan.
“Ini sebenarnya sangat tidak menyakitkan, rasanya seperti Velcro," ujarnya.
Cara kerja vaksin PittCoVaccini sendiri mirip dengan suntikan flu, yakni dengan menyuntikkan potongan-potongan protein virus yang dibuat di laboratorium ke dalam tubuh pasien untuk membantunya membangun kekebalan.
Uji coba vaksin terhadap hewan telah menunjukkan hasil yang bagus sejauh ini, tetapi uji coba manusia masih dalam tahap perencanaan.
Ketika diuji pada tikus, para peneliti menemukan bahwa jumlah antibodi yang mampu menetralkan virus SARS-CoV-2 melonjak tajam dua minggu setelah ditransfusikan.
Baca juga: Ilmuwan Kembangkan Aplikasi Pendeteksi COVID-19 Lewat Suara
Sebelum memulai uji coba pada manusia, para peneliti saat ini tengah menunggu persetujuan dari Food and Drug Anticipation (FDA) Amerika Serikat.
"Pengujian pada pasien biasanya membutuhkan setidaknya satu tahun dan mungkin lebih lama," kata Falo.
(dwk)
Tinggalkan Komentar