Foto: South China Morning post
Teknologi.id – Non Fungible
Token (NFT) kini menjadi salah satu yang banyak disukai orang. Berbagai
kalangan mencoba peruntungan pada bisnis NFT.
NFT sendiri adalah sebuah token
kriptografi yang mewakili suatu barang yang dianggap unik. Dengan memiliki aset
NFT, pemilik seperti memiliki karya seni yang original.
Pembuatan aset digital NFT, sama
seperti aset kripto, membutuhkan sejumlah energi
karena dicetak di teknologi blockchain.
Besaran energi tergantung
blockchain mana tempat NFT dilahirkan, misalnya pada Ethereum dikatakan butuh sekitar 48 kWh, dilansir dari CNN Indonesia.
Angka besaran energi tersebut
setara total energi listrik yang digunakan sebagian besar rumah warga Amerika Serikat selama 1,5 hari.
Kebutuhan sebesar itu lantaran
Ethereum menggunakan algoritma konsensus yang membutuhkan banyak energi, yaitu proof
of work.
Saat NFT dibeli, tanda terima
akan dicatat dan disimpan di dompet digital pembeli, misalnya MetaMask.
Dalam proses pencatatan tersebut dibutuhkan validasi informasi untuk menentukan di mana lokasi tanda terima dalam blockchain tersebut.
Baca juga: NFT Kartun Bebek ini Laku Rp1,7 Miliar, Ini Keunikannya
Proses validasi inilah yang
melibatkan para penambang atau miner. Para miner, bersaing satu dengan yang lain untuk hak membuat block pada
blockchain dan mendapatkan komisi atas pekerjaannya.
Ini artinya ada banyak miner
bekerja bersamaan dan menggunakan energi sangat besar hanya untuk memperebutkan
satu hak membuat block pada
blockchain.
Miner lain yang terlambat
memverifikasi transaksi di blockchain tidak
akan menerima komisi untuk pekerjaan mereka.
Hal ini menyebabkan energi yang
sudah dipakai untuk berupaya melakukannya terbuang sehingga dinilai boros
energi.
(fpk)
Tinggalkan Komentar