Foto: detikNews
Teknologi.id - Polemik mengenai pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) belakangan ini menjadi isu yang banyak dibicarakan. Hal ini berawal dari Presiden Indonesia Joko Widodo yang meminta masyarakat untuk lebih aktif mengkritik pemerintah. Namun, masyarakat diketahui terhalang oleh pasal-pasal dalam UU ITE.
Menanggapi hal itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat edaran (SE) terbaru terkait penerapan UU ITE. Dilansir dari Kompas.com, pada hari Selasa (23/2), ada 11 poin yang tertuang dalam surat edaran tersebut, dan yang menarik perhatian adalah poin yang menyatakan tersangka UU ITE tidak perlu ditahan jika meminta maaf.
Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif itu diteken Kapolri pada 19 Februari 2021. Nantinya seluruh anggota Polri harus berpedoman pada surat edaran ini dalam menangani perkara UU ITE.
Selain itu, melalui surat tersebut, Kapolri meminta seluruh anggota Polri berkomitmen dalam menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Karena itu, Sigit meminta jajarannya mengedepankan edukasi dan langkah persuasif dalam penanganan perkara UU ITE.
"Dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan dimaksud, Polri senantiasa mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif," tulis Kapolri dalam surat edaran tersebut.
Berikut 11 poin pedoman anggota Polri, khususnya penyidik Polri dalam menangani perkara UU ITE:
1. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya.
2. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat.
3. Mengedepankan upaya pre-emtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
4. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.
5. Sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
6. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim atau Dittipidsiber (dapat melalui Zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.
7. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
8. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
9. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.
10. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.
11. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.
Baca juga: Ajaib! Tanaman Bayam Ini Bisa Kirim Email
(st)
Tinggalkan Komentar